Saturday, August 21, 2010

I'tikaf

i'kaf, secara bahasa, berarti tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jadi, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Beri’tikaf bisa dilakukan kapan saja. Namun, Rasulullah saw. sangat menganjurkan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Inilah waktu yang baik bagi kita untuk bermuhasabah dan taqarub secara penuh kepada Allah swt. guna mengingat kembali tujuan diciptakannya kita sebagai manusia. “Sesungguhnya tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu,” begitu firman Allah di QS. Az-Zariyat (51): 56.


Para ulama sepakat bahwa i’tikaf, khususnya 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, adalah ibadah yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. Beliau sendiri melakukanya 10 hari penuh di bulan Ramadhan. Aisyah, Umar bin Khattab, dan Anas bin Malik menegaskan hal itu, “Adalah Rasulullah saw. beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan, pada tahun wafatnya Rasulullah saw. beri’tikaf selama 20 hari. Para sahabat, bahkan istri-istri Rasulullah saw., selalu melaksanakan ibadah ini. Sehingga Imam Ahmad berkata, “Sepengetahuan saya tak seorang ulama pun mengatakan i’tikaf bukan sunnah.”


“I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah,” begitu kata Ibnu Qayyim.


Itulah urgensi i’tikaf. Ruh kita memerlukan waktu berhenti sejenak untuk disucikan. Hati kita butuh waktu khusus untuk bisa berkonsentrasi secara penuh beribadah dan bertaqarub kepada Allah saw. Kita perlu menjauh dari rutinitas kehidupan dunia untuk mendekatkan diri seutuhnya kepada Allah saw., bermunajat dalam doa dan istighfar serta membulatkan iltizam dengan syariat sehingga ketika kembali beraktivitas sehari-hari kita menjadi manusia baru yang lebih bernilai.


I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam, yaitu:


1. I’tikaf sunnah, yaitu i’tikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Alah. Contohnya i’tikaf 10 hari di akhir bulan Ramadhan.


2. I’tikaf wajib, yaitu i’tikaf yang didahului oleh nadzar. Seseorang yang berjanji, “Jika Allah swt. menakdirkan saya mendapat proyek itu, saya akan i’tikaf di masjid 3 hari,” maka i’tikaf-nya menjadi wajib.


Karena itu, berapa lama waktu beri’tikaf, ya tergantung macam i’tikafnya. Jika i’tikaf wajib, ya sebanyak waktu yang diperjanjikan. Sedangkan untuk i’tikaf sunnah, tidak ada batas waktu tertentu. Kapan saja. Bisa malam, bisa siang. Bisa lama, bisa sebentar. Seminimal-minimalnya adalah sekejab. Menurut mazhab Hanafi, sekejab tanpa batas waktu tertentu, sekedar berdiam diri dengan niat. Menurut mazhab Syafi’i, sesaat, sejenak berdiam diri. Dan menurut mazhab Hambali, satu jam saja. Tetapi i’tikaf di bulan Ramadhan yang dicontohkan Rasulullah saw. adalah selama 10 hari penuh di 10 hari terakhir.


Syarat dan Rukun I’tikaf


Ada tiga syarat orang yang beri’tikaf, yaitu muslim, berakal, dan suci dari janabah, haid dan nifas. Artinya, i’tikaf tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum bisa membedakan (mumayiz), orang yang junub, wanita haid dan nifas.


Sedangkan rukunya ada dua, yaitu, pertama, niat yang ikhlas. Sebab, semua amal sangat tergantung pada niatnya. Kedua, berdiam di masjid. Dalilnya QS. Al-Baqarah (2): 187, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu sedang kamu beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”


Masjid yang mana? Imam Malik membolehkan i’tikaf di setiap masjid. Sedangkan Imam Hanbali membatasi hanya di masjid yang dipakai untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Alasannya, ini agar orang yang beri’tikaf bisa selalu shalat berjama’ah dan tidak perlu meninggalkan tempat i’tikaf menuju ke masjid lain untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Pendapat ini diperkuat oleh ulama dari kalangan Syafi’i. Alasannya, Rasulullah saw. beri’tikaf di masjid jami’. Bahkan kalau kita punya rezeki, lebih utama kita melakukannya di Masjid Haram, Masjid Nabawi, atau di Masjid Aqsha.


Rasulullah memulai i’tikaf dengan masuk ke masjid sebelum matahari terbenam memasuki malam ke-21. Ini sesuai dengan sabdanya, “Barangsiapa yang ingin i’tikaf denganku, hendaklah ia i’tikaf pada 10 hari terakhir.”


I’tikaf selesai setelah matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan. Tetapi, beberapa kalangan ulama lebih menyukai menunggu hingga dilaksanakannya shalat Ied.


Ketika Anda i’tikaf, ada hal-hal sunnah yang bisa Anda laksanakan. Perbanyaklah ibadah dan taqarub kepada Allah. Misalnya, shalat sunnah, tilawah, bertasbih, tahmid, dan tahlil. Beristighfar yang banyak, bershalawat kepada Rasulullah saw., dan berdoa. Sampai-sampai Imam Malik meninggalkan aktivitas ilmiahnya. Beliau memprioritaskan menunaikan ibadah mahdhah dalam i’tikafnya.


Meski begitu, orang yang beri’tikaf bukan berarti tidak boleh melakukan aktivitas keduniaan. Rasulullah saw. pernah keluar dari tempat i’tikaf karena mengantar istrinya, Shafiyah, ke suatu tempat. Orang yang beri’tikaf juga boleh keluar masjid untuk keperluan yang diperlukan seperti buang hajat, makan, minum, dan semua kegiatan yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Tapi setelah selesai urutan itu, segera kembali ke masjid. Orang yang beri’tikaf juga boleh menyisir, bercukur, memotong kuku, membersihkan diri dari kotoran dan bau. Bahkan, membersihkan masjid. Masjid harus dijaga kebersihan dan kesuciannya ketika orang-orang yang beri’tikaf makan, minum, dan tidur di masjid.


I’tikaf dikatakan batal jika orang yang beri’tikaf meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar. Sebab, ia telah mengabaikan satu rukun, yaitu berdiam di masjid. Atau, orang yang beri’tikaf murtad, hilang akal karena gila atau mabuk. I’tikaf juga batal jika wanita yang beri’tikaf haid atau nifas. I’tikaf juga batal kalau yang melakukannya berjima’ dengan istrinya. Begitu juga kalau ia pergi shalat Jum’at ke masjid lain karena tempatnya beri’tikaf tidak dipakai untuk melaksanakan shalat jum’at.


I’tikaf bagi muslimah


I’tikaf disunnahkan bagi pria, begitu juga wanita. Tapi, bagi wanita ada syarat tambahan selain syarat-syarat secara umum di atas, yaitu, pertama, harus mendapat izin suami atau orang tua. Apabila izin telah dikeluarkan, tidak boleh ditarik lagi.


Kedua, tempat dan pelaksanaan i’tikaf wanita sesuai dengan tujuan syariah. Para ulama berbeda pendapat tentang masjid untuk i’tikaf kaum wanita. Tapi, sebagian menganggap afdhal jika wanita beri’tikaf di masjid tempat shalat di rumahnya. Tapi, jika ia akan mendapat manfaat yang banyak dengan i’tikaf di masjid, ya tidak masalah.


Terakhir, agar i’tikaf kita berhasil memperkokoh keislaman dan ketakwaan kita, tidak ada salahnya jika dalam beri’tikaf kita dibimbing oleh orang-orang yang ahli dan mampu mengarahkan kita dalam membersihkan diri dari dosa dan cela.


Contoh Agenda I’tikaf


Magrib: ifthar dan shalat magrib

Isya: Shalat Isya dan tarawih berjamaah, ceramah tarawih, tadarus Al-Qur’an, dan kajian akhlak. Tidur hingga jam 02.00. Qiyamullail, muhasabah, dzikir, dan doa. Sahur.

Subuh: shalat Subuh, dzikir dengan bacaan-bacaan yang ma’tsur (al-ma’tsurat), tadarus Al-Qur’an.

Pagi: istirahat, mandi, cuci, dan melaksanakan hajat yang lain.

Dhuha: shalat Dhuha, tadzkiyatun nafs, dan kuliah dhuha.

Zhuhur: shalat Zhuhur, kuliah zhuhur, dan tahsin tilawah.

Ashar: shalat Ashar dan kuliah ashar, dzikir dengan bacaan-bacaa yang ma’tsur (al-ma’tsurat).


No comments:

Post a Comment

Jom baca ini juga ...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Catatan Anda Dihargai... Terima Kasih :)

Siapakah Penulis Yang Baik?

Penulis yang baik adalah yang penulisannya memberikan kesan kepada jiwa insan. Seterusnya, penulis itu mampu menjadi inspirasi, contoh, qudwah kepada pembacanya.

Akhirnya sekali, dia tidak akan hanya tersekat dalam alam penulisan, bahkan di alam realiti dia tetap mampu menjadi satu model kepada ummat.

Penulis Yang Terbaik

Tips 1: Hubungan Dengan Allah SWT

Ya, hubungan dengan Allah SWT. Seorang yang hendak menjadi penulis yang terbaik perlulah menjaga hubungannya dengan Allah SWT. Mencintai perintah-Nya dan melaksanakannya. Membenci kemungkaran ke arah-Nya dan mencegahnya. Tidak melekatkan diri kepada apa yang Allah murka dan sentiasa berusaha mempertingkatkan kualiti diri di hadapan-Nya.

Kenapa hubungan dengan Allah SWT itu diletakkan yang pertama?

Banyak sebab. Tapi, antara sebab yang utama adalah, kita hendak menulis sesuatu yang memberi kesan pada jiwa insan. Justeru, apakah logik kita tidak meminta kepada Yang Membolak Balikkan Jiwa Insan? Kita perlu sedar bahawa, Allahlah TUAN kepada Hidayah. Bukankah adalah perkara yang normal kita tunduk kepada-Nya agar dia membantu kita? Sedang kita ini tidak mampu memberikan hidayah walau kepada orang yang kita cintai.


Sesungguhnya kau tidak akan mampu memberikan hidayah kepada orang yang kau cintai, tetapi Allah lah yang memberikan hidayah kepada sesiapa yang dia kehendaki…” Surah Al-Qasas ayat 56.

Tips 2: Kerendahan Hati
Seorang yang ingin menggerakkan dirinya menjadi penulis yang baik, perlulah mendidik jiwa dan hatinya untuk sentiasa rendah. Rendah di sini adalah merasa kerdil di hadapan Allah SWT. Ini untuk menjaga keikhlasan, mengelakkan diri dari riya’, ujub, takabbur.
Riya’, ujub, takabbur, semua itu adalah hijab dalam amalan. Ia membuang keberkesanan penyampaian kita. Sifat-sifat mazmumah itu akan menyebabkan perjalanan penulisan kita juga terpesong. Nanti kita akan rasa cepat hendak membantah pendapat orang lain, tidak boleh ditegur, rasa senang nak menyalahkan orang dan sebagainya.

Kerendahan hati sangat penting dalam menjamin kebersihan perjalanan penulisan kita.

Apakah hati yang hitam mampu mencahayakan hati yang lain?

Tips 3: Dahagakan Ilmu
Kita tidak mencari ilmu seperti orang yang sudah kekenyangan. Maka kita akan rasa malas untuk menambah ilmu apabila kita rasa diri kita sudah penuh. Seorang penulis perlu sentiasa merasakan dirinya tidak cukup. Maka dia akan bergerak untuk mengisi dirinya dengan pelbagai ilmu.

Ilmu penulisan, ilmu-ilmu asas kehidupan, ilmu bahasa, ilmu realiti, dan bermacam-macam ilmu lagi.

Penulis perlu sedar bahawa, seseorang yang tidak mempunyai apa-apa, tidak akan mampu memberikan apa-apa.

Maka seorang penulis perlu mempunyai ‘apa-apa’ untuk menulis.

Amatlah penting bagi seorang penulis untuk mengekspansikan capaian ilmunya. Ilmu bukan sekadar di dalam kelas, di dalam buku teks. Bahkan seluruh kehidupan ini mampu dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Semuanya boleh diambil dan diterjemahkan kepada idea.

Banyak membuat kajian, banyak membuat pembacaan, banyak bertanya, banyak memerhati dan banyak berfikir. Ilmu-ilmu yang berjaya diraih, insyaAllah akan mampu menjadi ‘trigger’ kepada idea.

Tips 4: Disiplin

Tidak akan mampu seseorang itu menjadi penulis yang terbaik tanpa disiplin. Perlu ada disiplin dalam menulis. Perlu juga ada disiplin dalam mengimbangi kehidupan sebagai penulis dan sebagai pelajar, pekerja, anak, bapa, ibu dan sebagainya.

Sebab itu, apa yang saya selalu lakukan dalam hal disiplin ini adalah JADUAL.

Susun waktu. Sesungguhnya Allah tak akan memberikan manusia 24 jam sekiranya 24 jam itu tidak cukup untuk manusia. Tetapi manusialah yang tidak menggunakan 24 jam itu dengan sebaik-baiknya. Sebab itulah kita sering merasakan kita tidak mampu melaksanakan kerja.


Tips 5: Istiqomah
Seorang penulis yang terbaik itu, mencapai tahapnya yang tertinggi adalah apabila dia istiqomah. Bukannya bila pelawat website, blog sudah mencapai juta, dia mula bermalas-malasan.

Orang kata, hendak menjadi juara itu tidak sesusah hendak mengekalkan kejuaraan.

Penulis yang mampu menjadi contoh adalah penulis yang istiqomah.

Istiqomah dalam penulisannya. Istiqomah pula dalam menjaga peribadinya dalam menjadi qudwah kepada ummah.

Penutup

Saya tak rasa gembira kalau pembaca membaca penulisan saya, kemudian dia rasa seronok-seronok,tanpa membawa apa-apa daripada penulisan saya ke dalam kehidupannya.

Pada saya, seorang penulis itu bukan seorang penghibur.

Penulis adalah yang membina ideologi ummah, memimpin pemikiran ummah.

Justeru, penulis yang berjaya, adalah penulis yang penlisannya mampu memberikan kesan kepada kehidupan manusia.


~Hilal Asyraf ~

ms.langitilahi.com