Monday, July 20, 2009

Hamaswood - Revolusi Filem Masa Kini


Untuk pertama kalinya di jalur Gaza yang dikuasai Hamas diputar film. Pertunjukan perdana film di Gaza telah menyedot banyak warga Gaza untuk menonton, dengan bintang film lokal serta adanya acara foto bareng dengan para pemain, suasana Gaza hampir mirip dengan pemutaran perdana film-film di Hollywood.

Industri perfilman di Gaza mulai tumbuh, tentunya dengan aturan-aturan ketat yang dibikin oleh pemerintahan Hamas.

Film perdana yang diputar adalah sebuah film yang di dedikasikan terhadap para pimpinan pejuang Hamas yang telah syahid, dengan berbiaya sekitar 200.000 dolar film ini dibuat dan pada pertujukan perdana film ini, para penonton yang kebanyakan pria berjanggut lebat serta para perempuan berjilbab lebar dipisah posisi tempat duduknya.

"Ini Hamaswood bukan Hollwood," kata Fathi Hamad - menteri dalam negeri Hamas - setelah menyaksikan pemutaran perdana film tersebut pada Jumat sore lalu di Universitas Gaza. "Kami mencoba membuat seni yang berkualitas yang Islami dan mengenai perjuangan, tanpa provokasi adegan seksual."

Hamad merangkap sebagai produser dan skenario dibuat oleh Mahmud Zahar - salah seorang arsitek pengambil alihan jalur Gaza oleh Hamas dua tahun yang lalu.

Walaupun secara reputasi zahar seseorang yang 'keras', dirinya juga seorang dokter dan memiliki jiwa seni yang tinggi, terbukti ia telah membuat tiga novel dan dua skenario film.

Film perdana yang diputar di Gaza menceritakan tentang Imaq Aqil, salah seorang komandan sayap militer Hamas - Brigade Al-Qassam yang telah syahid (insyaAllah) dalam sebuah serangan udara pesawat militer Zionis Israel di Gaza pada tahun 1993.

Aqil yang pada saat itu baru berumur 23 tahun, lebih dikenal sebagai "hantu" atas kepintarannya dalam menyamar. Pada awal tahun 90 an dirinya menjadi orang yang paling dicari oleh Zionis Israel atas keterlibatannya dalam sebuah pembunuhan 11 tentara Israel.

Dalam film yang berdurasi 2 jam yang berjudul "Imad Aqil" ini penuh dengan adegan aksi layaknya film-film buatan Hollywood. Pahlawan ini dengan gayanya keluar dari jendela mobil langsung menembaki tentara-tentara Israel, setiap ada tembakan yang diarahkan ke pasukan Israel para penonton berteriak takbir dan memberikan aplus. Tidak ada percintaan dalam film ini, dan seluruh pemain wanitanya mengenakan jilbab yang tertutup rapi.

Para pemain lain ada yang berperan sebagai prajurit Israel, PM Yitzhak Rabin dan pimpinan angkatan bersenjatanya Ehud Barak, berbicara dengan bahasa Ibrani dengan terjemahan teks Arab untuk memberikan kemudahan bagi penonton mengerti arti percakapan yang mereka lakukan.

Sebagai film buatan Hamas tentunya yang menjadi jagoan adalah Hamas dan yang menjadi pecundang adalah Israel. Dalam film ini juga digambarkan bagaimana stressnya para petinggi Israel yang tidak dapat menghentikan aksi-aksi dari serangan sayap militer Hamas.

Film ini dibuat lebih dari 10 bulan dan Hamas berharap suatu hari nanti akan tumbuh media milik Hamas yang lebih banyak lagi. sebagai bagian dari kekaisaran media milik Hamas, Hamas telah memiliki dan mengoperasikan stasiun televisi satelit, sebuah radio, dan puluhan situs-situs internet. Dua surat kabar yang ada di Palestina berafiliasi ke Hamas dan Hamas juga menerbitkan laporan berkala mereka serta laporan berkala tentang sepak terjang sayap militernya.

Hamad dan Zahar kedepannya berencana akan membuat film tentang seorang pejuang Palestina legendaris - Syaikh Izzuddin Al-Qassam, tetapi sampai saat ini mereka belum memiliki lokasi yang tepat untuk pembuatan film tersebut, berkaitan dengan tempat tinggal pahlawan tersebut pada tahun 1920 an di kota Haifa yang sekarang telah menjadi bagian dari negara zionis Isrel.

Gaza tidak memiliki bioskop dan film "Imad Aqil" sendiri diputar di pusat kebudayaan yang ada di universitas Gaza. Bioskop-bioskop di Gaza telah ditutup sejak akhir tahun 1980 an, sejak terjadi perlawanan pertama rakyat Palestina terhadap penjajah Israel.

Berbeda dengan di jalur Gaza, pemandangan sangat kontras terlihat di tepi barat kota Nablus yang dikuasai oleh Fatah, poster film yang menampilkan seorang artis Libanon dengan pakaian yang membuka aurat terpampang bebas di sana, sedangkan di Gaza poster filmnya memperlihatkan sang "hantu" Imad Aqil dengan menyandang senapan mesin serta berlatar belakang prajurit Israel yang sedang berlarian.

Pada Jumat lalu pemutaran perdana film tersebut yang menjadi bintang utama justru Zahar, Hamad dan PM Ismail Haniya. Mereka tampak berbincang-bincang dengan para aktor dan berfoto bersama.

Zahar mengatakan bahwa membuat film perjuangan seperti ini hanya salah satu cara lain untuk membangkitkan semangat rakyat Palestina untuk melawan Israel.

"Perjuangan bisa lewat kata-kata, sebuah puisi dan lainnya," katanya menambahkan.(fq/sunsentinel)

Sumber : Era Muslim

Wednesday, July 15, 2009

Keikhlasan Kolektif, Syarat Kemenangan Dakwah

Oleh: Fahmi Islam Jiwanto, MA
Dakwatuna.com

Keikhlasan kolektif? Kedengarannya mungkin aneh. Kita terbiasa memaknai keikhlasan sebagai sesuatu yang sangat pribadi, bahawa keikhlasan adalah rahsia antara hamba dan Sang Pencipta. Tetapi jika merenungi banyak ayat dalam Al-Qur’an ternyata keikhlasan tidak hanya dituntut secara individual, tetapi juga diperintahkan untuk terealisasi secara kolektif.

Ayat 5 surat Al-Bayyinah tidak asing bagi kita, Allah berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ


Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya secara lurus. (surah al-Bayyinah; 98:4)

Kata umiru dan kata mukhlishin pada ayat di atas menggunakan bentuk jama’, sehingga secara zhahir ayat tersebut memerintahkan keikhlasan terealisasi secara kolektif.

Al-Qur’an menghendaki keikhlasan terlaksana dalam komuniti orang-orang beriman, sebagaimana dalam surat al-Fatihah setiap muslim selalu mengatakan “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), bukan “iyyaka a’budu wa iyyaka asta’in (hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan).

Lebih jauh lagi bahkan tidak teralisasinya keikhlasan kolektif dalam suatu komuniti mengakibatkan bencana dan kekalahan bagi seluruh individu komuniti tersebut. Allah berfirman dalam surat Ali Imran ketika mengomentari kekalahan umat Islam di perang Uhud:

وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الْآَخِرَةَ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ وَلَقَدْ عَفَا عَنْكُمْ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ


Dan Sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka (orang-orang musyrik Quraisy) dengan izin-Nya, sampai pada sa’at kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai (yaitu terhamparnya ghanimah). Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah mema’afkan kamu. dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman. (sural Ali Imran; 3:152)

Ayat tersebut mengungkapkan bahawa ketika keikhlasan sebagian kaum mukminin tercoreng dan motivasi sudah bercampur, kekalahan dan kegagalan perjuangan adalah suatu keniscayaan.

Sampai di sini ada dua pertanyaan menghadang:

Pertama, apakah keikhlasan kolektif bererti bahawa dalam komuniti orang beriman tidak boleh ada yang bersalah dan berdosa sampai-sampai niat melenceng saja dapat mengakibatkan kekalahan bersama?

Kedua, apakah hal itu bererti kita harus mengetahui dan menyingkap niat orang lain di sekitar kita padahal masalah keikhlasan adalah rahasia hati yang tidak bisa diketahui kecuali oleh yang bersangkutan dan ALLAH Ta'ala?

Mengenai pertanyaan pertama, kesalahan dan dosa selain memiliki efek terhadap individu yang melakukan, juga berefek pada masyarakat sekitar. Tetapi efek tersebut hanya berpengaruh dalam kondisi-kondisi berikut:

1. Yang bersangkutan tidak bertaubat. Jika seseorang bertaubat maka kesalahan dan dosanya diampuni. (3:153)

2. Yang bersangkutan melakukan dosa dan kesalahan secara terang-terangan. Jika dilakukan secara tersembunyi maka dosa hanya akan berefek pada pribadi yang melakukan. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim Rasulullah bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافَاةٌ إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ


Seluruh umatku terselamatkan kecuali orang-orang yang berbuat (dosa) terang-terangan. (HR al-Bukhari dan Muslim)

3. Niat buruk telah menjelma menjadi perkataan, konsep, atau perbuatan. Niat yang melenceng jika terlintas dalam hati saja, tetapi tidak diterjemahkan dalam perkataan atau perbuatan, tidak berbahaya sama sekali. Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ. متفق عليه


Sesungguhnya Allah memaafkan umatku dari hal-hal yang mereka katakan dalam hati mereka selama tidak mereka amalkan atau ucapkan. (HR al-Bukhari dan Muslim)

4. Tidak ada yang mengingatkan dan mengingkari kesalahan dan dosa yang dilakukan secara terang-terangan. Jika ada yang mengingkari dan melarang perbuatan dosa, maka orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar tersebut selamat dari akibat perbuatan dosa tersebut. (7:165)

Masyarakat yang diinginkan Al-Qur’an bukanlah masyarakat malaikat yang tidak pernah berbuat salah atau berniat melenceng. Kesalahan dan penyelewengan masih dapat ditoleransi jika tidak mendominasi dan menjadi fenomena umum. Kerana itu amar ma’ruf nahi munkar, tawashi bil haq wa tawashi bish shobr, menjadi pilar keberlangsungan komuniti orang-orang beriman. Dalam masyarakat Nabi dan para sahabat terdapat orang-orang yang berdosa, bahkan golongan munafiq dan orang-orang yahudi. Tetapi dominasi ada pada suara keimanan dan ajaran Islam.

Mengenai pertanyaan kedua, membongkar hati orang lain bukanlah hal yang mungkin dilakukan bahkan tidak boleh dilakukan. Yang harus dilakukan hanyalah memberi peringatan dan membangkitkan motivasi. Bahkan itulah sesungguhnya tugas Nabi sallallahu 'alaihi wasallam dan para pengikutnya. Allah berfirman:

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ . لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ


Maka berilah peringatan, kerana sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka (surah al-Ghasyiyah; 88:21-22)

Keberhasilan seorang juru dakwah bukanlah kerana dia dapat memaksakan kehendaknya atau pikirannya kepada para pengikutnya, tetapi keberhasilan sejati adalah ketika dia dapat memotivasi para pengikut dengan motivasi yang lurus dan membuat para pengikut bergerak dengan keikhlasan menjalankan perintah Allah. Seringkali kepentingan duniawi menggoda para pejuang di jalan Allah. Di sinilah tantangan keteguhan motivasi dan kekuatan ikhlas diuji.

Di sisi lain, meskipun keikhlasan merupakan rahasia hati, tetapi keikhlasan tercermin dalam ucapan dan perbuatan. Al-Qur’an mengungkapkan bahwa sikap nifaq meskipun disembunyikan dalam hati, tetap akan tampak dalam sela-sela ucapan dan indikasi perbuatan. Allah berfirman:

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَنْ لَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ أَضْغَانَهُمْ وَلَوْ نَشَاءُ لأرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ


Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa ALLAH tidak akan menampakkan kedengkian mereka? Dan kalau KAMI kehendaki, nescaya KAMI tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya, dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan ALLAH mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. (surah Muhammad; 47:29-30)

Tanda-tanda ketidakikhlasan dapat ditangkap dari perkataan dan perbuatan. Meskipun kita juga diajarkan untuk tidak berprasangka buruk (su’uzh-zhan) (49:12), tetapi seorang mukmin haruslah cerdas dan bijaksana, dia waspada dan peka terhadap gejala ketidakikhlasan tanpa harus berprasangkapa buruk. Bagaimana caranya? Ada beberapa langkah yang diajarkan Al-Qur’an kepada kita tentang hal ini.

Pertama, biasakan diri untuk selalu dekat dengan majlis zikir wal ikhlas dan orang-orang yang rajin berzikir dan ikhlas. Apa dan siapa mereka itu? Mari dengarkan firman Allah ini:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا


Dan bersabarlah kamu (wahai Muhammad) bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keredhaan-NYA; dan janganlah kedua-dua matamu berpaling dari mereka (kerana) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah KAMI lalaikan dari mengingati KAMI, serta menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya itu melewati batas. (surah al-Kahfi; 18:28)

Redaksi perintah seperti ini Allah tujukan langsung kepada Nabi Muhammad. Begitu pentingnya sehingga secara khusus Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk melakukan hal tersebut.

Sayyid Qutb berkata tentang makna ayat ini, “Sabarkan dirimu, iaitu jangan bosan dan tergesa-gesa, bersama “orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya” kerana ALLAH-lah tujuan mereka. Mereka menghadap ALLAH pada pagi dan senja, tidak menyimpang dari-Nya, tidak mengharapkan selain redha-Nya. Yang mereka idamkan lebih agung dan lebih luhur dari semua yang diidamkan para pencari dunia. Sabarkan dirimu bersama mereka itu. Bersahabatlah dengan mereka, ikutlah dalam majlis mereka dan ajarkan mereka (wahai Muhammad). Pada merekalah terdapat kebaikan. Dan atas pundak merekalah gerakan dakwah dapat berdiri. Kerana dakwah tidak berdiri di tangan orang-orang yang menganutnya demi merealisasikan ambisi-ambisi, demi memperdagangkannya di pasar dakwah sehingga dibeli atau dijual! Dakwah hanyalah berdiri pada hati-hati yang menghadap kepada Allah dengan ikhlas, tidak menginginkan kedudukan, kenikmatan, ataupun kepentingan. Tetapi hanya mengharapkan wajah-Nya dan menginginkan redha-Nya.

Ayat ini begitu unik. Keunikan tersebut perlu kita perhatikan. Biasanya orang-orang mukminlah yang diperintahkan untuk bersama dengan Nabi Muhammad. Tetapi pada ayat ini Nabi Muhammadlah yang diperintahkan untuk bersabar bersama orang-orang mukmin tersebut. Mengapa?

Untuk lebih memahami hal tersebut, coba kita lihat bersama latar belakang diturunkannya ayat ini:

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa Saad bin Abi Waqqash berkata, “Kami sedang duduk bersama Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam enam orang. Datanglah orang-orang musyrik dan mereka berkata: “Usirlah mereka itu, jangan sampai mereka berani duduk dengan kami.” Ketika itu saya bersama Ibnu Mas’ud, seorang dari Hudzail, Bilal, dan dua orang yang saya lupa namanya. Lalu turunlah ayat tersebut.”

Ibnu Katsir menfsirkan ayat tersebut sebagai berikut, “Duduklah bersama orang-orang yang mengingat Allah, bertahlil, bertahmid, bertasbih dan bertakbir setiap pagi dan petang, baik mereka itu miskin ataupun kaya, kuat ataupun lemah.” Ayat tersebut memerintahkan Nabi Muhammad untuk tidak terpengaruh dengan pembesar-pembesar Quraisy yang enggan duduk bersama orang-orang mukmin yang majoriti tergolong miskin yang lemah demi mengambil hati golongan elit tersebut.

Keikhlasan dapat dengan mudah ditemukan pada komuniti orang-orang yang sederhana dan tawadhu, yang selalu berkumpul dalam suasana dzikir, mengingat Allah. Sebagaimana manusia dituntut untuk memilih pemimpin, pemimpin juga harus selektif dalam memilih orang-orang dekatnya dan orang-orang kepercayaannya. ALLAH memerintahkan Nabi-Nya untuk menjadikan orang-orang dekatnya adalah orang-orang yang rajin berzikir siang malam, pagi dan petang, orang-orang yang biasa beramal hanya demi akhirat, orang-orang yang kesibukan utamanya adalah mencari redha ALLAH.

Mereka yang hidupnya senantiasa dalam suasana mengingat ALLAH dan akhirat, akan memiliki sensitivi tinggi terhadap gejala-gejala penyimpangan. Sebaliknya, mereka yang terlalu banyak bergaul dengan para pembela kepentingan dunia, hati mereka akan terkontaminasi dengan polusi-polusi niat yang tidak lurus. Lebih parah lagi jika para pencari dunia tersebut adalah orang-orang yang pandai dan terbiasa membuat pembenaran-pembenaran terhadap segala perbuatannya.

Kedua, membiasakan diri kita untuk secara ketat mengawasi niat kita sendiri, sebelum melihat dan menilai orang lain. ALLAH memerintahkan kita untuk membersihkan hati kita, tetapi ALLAH melarang kita untuk merasa dan menganggap diri sebagai orang bersih. Allah berfirman:

فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى


Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (surah an-Najm; 53:32)

Adalah sifat orang mukmin sejati, mereka selalu khuatir diri mereka terjangkiti penyakit nifaq (kemunafikan) tanpa mereka sadar. Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Saya bergaul dengan lebih dari tiga puluh sahabat Nabi. Mereka semua takut dirinya terjangkiti penyakit nifaq, dan tak seorangpun dari mereka mengatakan bahawa iman mereka seperti imannya Jibril dan Mikail.”

Bahkan Hasan al-Bashri berkata, “Tidaklah seseorang merasa takut dari penyakit nifaq kecuali dia mukmin, tidaklah seseorang merasa aman dari penyakit nifaq kecuali pasti dia munafik.”

Keikhlasan adalah sebuah perjuangan hati melawan bisikan nafsu dan dorongan syaitan, bukan sesuatu yang hanya diklaim atau diaku-aku. Hati yang peka dan bersih akan selalu sibuk meluruskan niat, bukan mengakui keikhlasan dan merasa aman. Begitu sulitnya meluruskan niat ini sehinggakan seorang ulama besar, Sufyan ats-Tsauri berkata, “Saya tidak menemukan amal yang lebih sulit dari pada mengikhlaskan niat.”

Seseorang yang terbiasa mengawasi hatinya akan mendapat dua faedah, pertama dia dapat memelihara kebersihan hati, dan kedua dia mengetahui bagaimana syaitan dan hawa nafsu mengelabui hati. Dan dengan bekal itu, dia akan mengetahui bagaimana cara meluruskan niat orang lain, tanpa menuduh keikhlasan seseorang.

Ketiga, harus dilakukan penguatan dan pelurusan motivasi secara berkala dan masif. Meskipun bab Ikhlas adalah bab yang aksiomatik dan sudah begitu familiar bagi setiap aktivis dakwah, tetapi bukan bererti kita cukup hanya membicarakannya sekali untuk diketahui saja. Kerana keperluan hati terhadap tadzkir (peringatan/nasihat) sama dengan keperluan tubuh terhadap makanan. Tidak mungkin manusia hanya sekali makan, kemudian berhenti. Begitu pula hati manusia, harus diisi dengan tazkirah secara rutin.

Surat al-'Ashr adalah surat yang tidak asing bagi setiap muslim. Tetapi para sahabat Nabi merasa perlu untuk saling mengingatkan pesanan dari surah ini setiap kali mereka bertemu. Hal itu kerana mereka sedar bahawa hati dan keimanan akan melemah jika tidak mengkonsumsi taushiyah secara berkala. Dr Yusuf al-Qardhawi sering berkata tentang ayat 3 surah tersebut, “Semua manusia wajib menerima dan memberi taushiyah. Tidak ada orang yang terlalu rendah untuk memberi nasihat, dan tidak ada orang yang terlalu tinggi untuk menerima nasihat.”

Allah berfirman:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ


Dan tetaplah memberi peringatan, kerana sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (surah adz-Dzariyat; 51:55)

Wallahu Waliyyut taufiq.

Sunday, July 12, 2009

Laksanakan keadilan sosial


Oleh ABDULLAH MD. ZIN

Konsep Satu Malaysia yang dikemukakan oleh Perdana Menteri Datuk Seri Najib Tun Razak menimbulkan semangat baru kepada banyak pihak di Malaysia terutama mereka yang berada dalam arus perdana. Bagaimanapun, kita tidak dapat nafikan, ada suara keraguan dan kebimbangan sesetengah pihak kerana mereka khuatir hak mereka akan terjejas atau diabaikan.

Pada hari pertama Sidang Parlimen pada 15 Jun lalu, Najib menegaskan dengan cukup jelas bahawa gagasan Satu Malaysia amat berbeza daripada konsep asimilasi yang diamalkan di negara lain, di mana identiti kaum-kaum etnik dilenyapkan dan digantikan dengan satu identiti nasional baru.

Begitu juga gagasan ini berbeza daripada konsep Malaysian Malaysia yang diamalkan oleh parti pembangkang kerana konsep berkenaan tidak bertunjangkan kepada Perlembagaan Persekutuan.

Sebaliknya, menurut beliau, Satu Malaysia secara tersurat dan tersirat kekal menjunjung kesemua peruntukan teras seperti Perkara 3, 4, 152, 153 dan Bahagian 2 serta 3 yang termaktub dalam Perlembagaan Persekutuan.

Seterusnya Najib memberitahu formula Satu Malaysia akan terlaksana dalam dua aspek utama iaitu penerapan teras-teras perpaduan dan nilai-nilai aspirasi.
Antara teras-teras perpaduan ialah penerimaan antara semua kaum dan rakyat Malaysia. Kedua, prinsip-prinsip kenegaraan berasaskan Perlembagaan Persekutuan dan Rukun Negara dan ketiga, keadilan sosial.

Dari perspektif undang-undang, telah wujud peruntukan di dalam Perlembagaan Persekutuan bahawa Islam adalah agama persekutuan dan agama-agama lain.
Peruntukan ini amat jelas sekali memberi kekuatan kepada agama Islam yang tidak boleh dicabar kedudukannya dan dalam masa yang sama memberi perlindungan kepada agama-agama lain, ia boleh diamalkan dalam keadaan aman dan damai.

Perkara 3 dalam Perlembagaan Persekutuan itu amat tepat dengan sejarah pembangunan tamadun Islam sejak zaman Rasulullah SAW di Madinah dan Khulafa' al-Rashidin sehingga ke zaman kegemilangan Islam di Eropah yang telah membuktikan pembangunan akidah dan syariah yang kuat bagi umat Islam di samping menghormati penganut-penganut agama lain dan amalan mereka seperti Yahudi, Kristian dan lain-lain.

Sejarah membuktikan bahawa pada zaman pemerintahan Islam di Madinah serta di zaman para sahabat, keadilan diberikan kepada semua rakyat tanpa mengira perbezaan agama, bangsa dan budaya.

Dalam al-Quran, banyak ayat yang menyuruh umat Islam supaya berlaku adil dan melarang kezaliman. Perkataan adil disebut dalam al-Quran sebanyak lebih 20 kali, di antaranya Allah SWT berfirman yang bermaksud: Dan janganlah kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kerana adil itu lebih dekat kepada takwa. (Surah al-Maidah, ayat 8).

Ayat tersebut mewajibkan umat Islam supaya berlaku adil dalam semua urusan mereka, sehinggakan kepada musuh pun digesa supaya berlaku adil. Selain keadilan dalam bidang kehakiman, keadilan sosial juga dituntut ke atas umat Islam supaya melakukannya kepada semua individu dalam masyarakat tanpa mengira kaum, agama dan budaya. Setiap anggota masyarakat hendaklah mendapat keperluan asas mereka seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, peluang mendapat pelajaran dan pekerjaan.

Keadilan sosial bukanlah bererti membasmi kemiskinan sehingga ke akar umbinya supaya tidak wujud lagi dalam masyarakat. Perkara ini bercanggah dengan sunnah alam kerana kemiskinan dan kekayaan adalah dua hakikat yang wujud di dunia ini. Yang kaya dan yang miskin ada tugas dan tanggungjawab masing-masing.

Yang kaya membantu yang miskin manakala yang miskin pula berterima kasih kepada yang kaya dan tidak melakukan huru-hara dalam masyarakat. Dengan itu, suasana harmoni dan perhubungan yang baik dapat diwujudkan dalam masyarakat.

Antara faktor penting yang telah dianjurkan oleh Islam bagi mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat ialah saling bekerjasama (ta'awun) antara anggota masyarakat. Masyarakat Islam perlu didirikan di atas dasar tersebut sebagaimana firman Allah SWT yang bermaksud: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam melakukan dosa dan perseteruan. (Surah al-Maidah, ayat 2).

Begitu juga antara faktor penting bagi mewujudkan keadilan sosial ialah perhubungan yang baik antara sesama anggota masyarakat sebagaimana sabda Rasullah SAW yang bermaksud: Perumpamaan orang mukmin dalam berkasih sayang, bantu membantu dan silaturrahim seperti satu tubuh, apabila satu anggota mengadu kesakitan, maka seluruh tubuh akan ikut berjaga malam dan demam.

Kasih sayang, bantu membantu dan silaturrahim adalah asas penting dalam keadilan sosial.
Perhubungan yang baik antara individu dalam masyarakat yang terdiri daripada orang kaya, orang miskin, orang tua, orang muda, pemerintah dan rakyat adalah amat penting dalam mewujudkan keharmonian dan kerukunan.

Begitu juga Islam menekankan kemesraan dan berbaik sangka serta sifat sedia membantu di kalangan anggota masyarakat sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang bermaksud: Tidak sempurna iman seseorang kamu sehingga ia suka kepada saudaranya seperti yang ia suka bagi dirinya, dan sabdanya lagi yang bermaksud:

Allah menolong seseorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya. Dari huraian di atas, vcjelas menunjukkan bahawa keadilan sosial bukanlah satu slogan kosong yang mengajak supaya menyamakan semua anggota masyarakat, tetapi apa yang dimaksudkan dengannya ialah menyamakan mereka dalam kesempatan dan peluang untuk mengembangkan prestasi dan potensi.

Oleh itu, keadilan sosial dapatlah ditakrifkan sebagai "kerjasama untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu padu, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing."
Islam sentiasa menganjurkan supaya berlumba-lumba berbuat kebajikan dalam masyarakat sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang bermaksud: Sebaik-baik manusia ialah orang yang paling banyak menyumbang kepada sesama manusia.

Oleh itu, aktiviti sosial adalah aspek yang penting dalam hidup berjemaah dan semangat kerjasama merupakan amalan yang perlu dipupuk supaya ia berkembang dalam masyarakat.
Dalam masyarakat Malaysia sekarang, kita dapati kerja-kerja amal kurang diberi tumpuan oleh masyarakat sama ada di peringkat individu atau organisasi. Kalau kita bandingkan dengan aktiviti keagamaan yang bercorak ibadat khusus, kita dapati ramai yang berminat.

Dalam al-Quran dan al-Sunnah banyak ayat dan hadis yang memberi galakan supaya kita membuat kebajikan dalam masyarakat. Malah ia merupakan suatu tanggungjawab sebagaimana firman Allah SWT yang bermaksud: "Wahai orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhan kamu, dan buatlah kebajikan supaya kamu dapat kemenangan." (Surah al-Hajj, ayat 77).

Begitu juga Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: "Mahukah kamu kiranya aku memberitahu kamu tentang amalan yang lebih utama dari puasa, solat dan sadaqah?" (yakni sunat). Sahabat menjawab "Kami mahu wahai Rasulullah," lalu Baginda bersabda: "Iaitu amalan atau usaha membaiki hubungan yang terputus antara dua pihak yang bertentangan (berkonfrantasi), kerana keburukan perpecahan itu adalah pencukur."

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersabda: "Aku tidak berkata ia pencukur rambut, tetapi ia pencukur agama" (menghapuskan roh persaudaraan Islam).
Sebenarnya, kerja-kerja sosial boleh digunakan sebagai media dakwah, ia suatu cara berkesan untuk memenangi hati masyarakat.

Kalau kita menyingkap sejarah hidup Rasulullah SAW dan para sahabat, mereka dikenali sebagai para dermawan dan baik hati. Mereka melibatkan diri dengan membuat kebajikan dan memberi pertolongan kepada orang ramai. Oleh itu 'kebajikan' dan 'khidmat' amat penting dalam kerja-kerja kemasyarakatan.

Kita hendaklah mendekati dan memberi pertolongan kepada orang yang berada dalam kesusahan dan kesempitan, anak-anak yatim dan remaja yang terlibat dengan berbagai-bagai gejala sosial.

Kita janganlah terlalu terpesona dengan theoretical dialogue tentang keadilan sosial yang serba ideal, tetapi kita seharusnya menterjemahkan ideal-ideal Islam dalam masyarakat melalui kerja-kerja kemasyarakatan di tengah-tengah lapangan.

DATUK DR. ABDULLAH MD. ZIN ialah Penasihat Agama Kepada Perdana Menteri


Friday, July 10, 2009

Guru : Pengajar atau PENDIDIK ?


Puisi ‘Guru Oh Guru’ karya Usman Awang

Berburu ke padang datar
Dapat rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
Ibarat bunga kembang tak jadi

Dialah pemberi paling setia
Tiap akar ilmu miliknya
Pelita dan lampu segala
Untuk manusia sebelum jadi dewasa.

Dialah ibu dialah bapa juga sahabat
Alur kesetiaan mengalirkan nasihat
Pemimpin yang ditauliahkan segala umat
Seribu tahun katanya menjadi hikmat.

Jika hari ini seorang Perdana Menteri berkuasa
Jika hari ini seorang Raja menaiki takhta
Jika hari ini seorang Presiden sebuah negara
Jika hari ini seorang ulama yang mulia
Jika hari ini seorang peguam menang bicara
Jika hari ini seorang penulis terkemuka
Jika hari ini siapa sahaja menjadi dewasa;
Sejarahnya dimulakan oleh seorang guru biasa
Dengan lembut sabarnya mengajar tulis-baca.

Di mana-mana dia berdiri di muka muridnya
Di sebuah sekolah mewah di Ibu Kota
Di bangunan tua sekolah Hulu Terengganu
Dia adalah guru mewakili seribu buku;
Semakin terpencil duduknya di ceruk desa
Semakin bererti tugasnya kepada negara.

Jadilah apa pun pada akhir kehidupanmu, guruku
Budi yang diapungkan di dulang ilmu
Panggilan keramat “cikgu” kekal terpahat
Menjadi kenangan ke akhir hayat.



Guru adalah insan yang paling dekat dengan pelajar setelah ibubapa mereka. Selain mengajar subjek di kelas dan memastikan para pelajar mencapai kejayaan yang cemerlang dari sudut akademik, seorang guru juga amatlah dibanggakan jika mampu membentuk sahsiah pelajar menjadi insan yang turut mementingkan nilai - nilai agama.

Alangkah bahagianya seorang guru jika muridnya bukan sekadar berjaya menjawat jawatan yang tinggi bahkan berbudi pekerti mulia tanpa terlibat dengan sebarang unsur rasuah dan menjadi imam masyarakat. Mampukah guru hari ini mendidik murid berkeribadian pemimpin seperti Umar Al-Khattab yang sangat mengambil berat urusan agama, negara dan rakyatnya ? Mampukah guru hari ini melahirkan panglima tentera sehebat Khalid Al-Walid dan Salehudin Al-Ayubi yang bijak menyusun strategi perang dan menggantungkan sepenuh harapannya kepada Allah ? Mampukah seorang guru hari ini mencetak ilmuan Islam sebaik Imam Syafie, Ibnu Sina, Al-Razi, Kawarizmi dan barisan sahabat yang lain? Dan yang paling penting mampukah guru hari ini menanamkan aqidah Islam yang mendalam ke dalam jiwa murid - muridnya sekuat Bilal, Sumayyah dan syahidah fi sabilillah dalam mempertahankan kalimah tauhid yang mereka pegang selama ini ?

Semua ini adalah mungkin jika barisan guru hari ini mengikhlaskan niat kerana Allah. Melangkahlah ke kelas dengan niat untuk mendidik anak bangsa mengenal Allah, mengamalkannya dan menjadi imam orang Islam. Gurulah yang terlebih dahulu perlu mempelajari ilmu Allah, mengamalkannya serta menjadi role model kepada anak didiknya.

Semoga di akhir titisan keringat, kesunguhan dan kesabaran barisan guru - guru bakal mengubah sejarah dengan terlahirnya pemimpin - pemimpin yang adil, ulama - ulama yang wara', profesionalis yang beriman dan rakyat yang taat kepada Allah, Rasul dan pemimpinnya.

Sunday, July 5, 2009

FAHAMI Pasangan Anda


Sebagaimana kata seorang wali Allah iaitu Rabiatul Adawiah: 'Allah telah menjadikan lelaki itu mempunyai sembilan akal dan satu nafsu dan menjadikan perempuan satu akal dan sembilan
nafsu.'

Bukanlah maksud saya di sini bahawa orang lelaki lebih bijak kerana dia diberi sembilan akal, tetapi, tujuannya untuk menyatakan ada perbezaan antara lelaki dengan perempuan. Secara umum, dari segi psikologi lelaki dan perempuan berbeza tentang:

- Cara berkomunikasi
- Cara berfikir
- Tahap kepekaan dan perasaan
- Tanggapan
- Tindakan dan perbuatan
- Kaedah mempamerkan kasih sayang
- Kehendak mempamerkan kasih sayang
- Kehendak dan pengharapan
- Cara mempamerkan penghargaan
- Cara dan tahap pengorbanan
- Cara dan daya khayalan
- Daya pengamatan dan konsentrasi
- Cara dan pengisian doa

- Orang perempuan juga suka mengubah penampilan diri dan tindakan pasangannya. Jadi pantang ada yang tidak kena dengan suaminya, isteri akan segera menegur dan menyuruh membuat perubahan. Sebaliknya orang lelaki biasanya, hanya akan memberi teguran apabila pasangannya agak keterlaluan. Umpamanya, apabila si suami melihat isterinya memakai pakaian yang terlalu ketat, maka dia akan menegurnya.

- Orang lelaki juga sering memberi tumpuan kepada aspek fizikal atau kebendaan manakala perempuan lebih menumpukan kepada aspek perasaan dan kemanusiaan. Lantas orang perempuan lebih mudah merajuk dan tersinggung dan lebih mudah bersimpati dan sedia berkorban.

- Bagi orang perempuan, mengalah itu tanda sayang dan pengorbanan manakala bagi lelaki, mengalah itu tanda lemah dan tiada prinsip kukuh. Jadi elakkanlah daripada merendah-rendah atau mencabar suami.

- Gerak hati orang perempuan adalah lebih tajam daripada orang lelaki. Jadi para suami mesti ingat, jangan cuba membohongi isteri!

- Orang perempuan, apabila risau atau mengalami ketegangan, akan menceritakan masalahnya kepada orang lain. Berbeza dengan orang lelaki, mereka lebih kerap mendiamkan diri apabila bermasalah.

- Seseorang lelaki tidak perlu khuatir tentang kesetiaan isterinya. Sebab orang perempuan, apabila menyayangi seorang lelaki, akan menutup hati dan pemikirannya terhadap lelaki lain. Orang lelaki pula lebih fleksibel.

- Orang perempuan mudah jadi marah, cemburu dan merajuk apabila imej dirinya menurun. Orang lelaki akan menjauhkan diri apabila imej dirinya tergugat.

- Satu lagi perbezaan ialah dari segi emosi. Emosi lelaki ibarat getah, manakala emosi perempuan ibarat ombak. Lantas orang lelaki jika marah atau merajuk biasanya tidak lama sekitar dua atau tiga jam saja. Marah atau merajuk perempuan, agak lama ada kalanya berhari-hari, malah berminggu-minggu.

- Bila merajuk, perempuan suka dipujuk, tapi lelaki lebih senang bersendiri.

- Bila memberi arahan, perempuan biasanya memberi arahan yang kurang jelas dan kurang tepat pada pandangan lelaki dan sebaliknya bagi lelaki.

- Perempuan suka menyatakan perasaan melalui tangisan, protes atau merajuk dan ia sebenarnya tidak dapat difahami oleh lelaki. Lelaki pula lebih suka menyembunyikan perasaannya.

Friday, July 3, 2009

Agar Pernikahan Membawa Berkah


Oleh: Tim dakwatuna.com
--------------------------------------------------------------------------------

Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka ia akan mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non materil.

Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.

Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?

1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)

Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap dalam Al-qur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.

Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolongan kepada mereka yang mengambil langkah ini; “ Tiga golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)

Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.

2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)

Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isterinya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.

Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.

3. Sikap toleran (Tasamuh)

Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian, dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.

Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.

Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi memaafkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.

4. Komunikasi (Musyawarah)

Masalah dalam komunikasi (misscomunication) suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.

Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian (empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.

Al-qur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.

5. Sabar dan Syukur

Allah SWT mengingatkan kita dalam Al-qur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga di mana sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung, tuntutan wang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.

Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak berikut: “Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak keberkahan.

Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya. Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus dipersiapkan.

Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).

Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:

Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.

Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.

Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).

Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.


6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)

Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)

Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal di rumah.

Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamaian, dan cinta kasih.

Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang merudum maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syaitan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah hendaknya berwuduk dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan. Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.

7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)

Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah dengan mengingati Allah, hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Ya muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).

Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”

Wujud indahnya keberkahan keluarga

Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.

Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.

Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.

Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:

“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).


KEBAHAGIAAN DAN KEKUSUTAN RUMAH TANGGA KITA TERLETAK DI TANGAN KITA.
UNTUK MENGUBAH KEKUSUTAN KEPADA KEBAHAGIAAN, MAKA KITA YANG TERLEBIH DAHULU PERLU BERUBAH.

TIPS Menghilangkan Malas

Disusun ulang oleh: Ummu Aufa

“Tugas kuliah masih menimbun di meja, Menghafalkan surah, yah…… hanya dapat ayat pertama saja sudah bosan, mahu membaca tetapi mengantuk akhirnya buku-buku kajian beralih fungsi menjadi bantal, tilam empuk selalu menyapaku di malam hari, hmm… apa yang mampu diperbuat agar malas jauh dari diriku?! Akankah hidup yang bagaikan musafir ini disia-siakan begitu saja? Tidak… tidak boleh hal itu terjadi padaku, aku harus bisa memusuhi 5 huruf itu yaitu MALAS.”

Malas dapat kita hindari ketika ia datang menyerang kemauan dan semangat kita, di bawah ini ada beberapa tips antara lain:

  1. Membasuh muka atau mandi ketika rasa mengntuk menyerang.
  2. Mengubah posisi duduk ketika membaca. Misalnya dari duduk berubah menjadi berdiri, namun disarankan jangan dari duduk terus berbaring
  3. Berpindah dari ruang baca ke ruang yang lain.
  4. Menghirup udara yang segar dengan cara berdiri di dekat jendela atau membuka jendela-jendela bilik lain untuk menambah kesegaran. Gunakan wangian yang anda sukai.
  5. Berjalan-jalan sebentar di sekeliling rumah atau diganti dengan kegiatan yang lain misalnya merapikan rak yang berselerak, atau kegiatan yang lain yang mampu menggerakkan otot-otot kita.
  6. Berbincang-bincang sebentar dengan keluarga atau teman sekos namun mengenai hal mubah bukan haram. Hati-hati jangan sampai lupa tujuan utama dalam berbincang-bincang yaitu untuk menumbuhkan semangat, bukan untuk berborak bahkan meng-ghibah.
  7. Berdiri membuat secangkir kopi, teh, susu atau juice untuk menghilangkan kebosanan dan menjernihkan akal.
  8. Mengubah kegiatan rutin. Misal bosan menghafalkan surat berganti dengan membaca, jika membaca bosan bisa diganti dengan mendengarkan kajian lewat CD.

Itulah beberapa tips agar kita bisa terjauh dari penyakit malas. Akan tetapi yang paling utama jangan sampai kita lupa berdo’a agar Allah senantiasa memberi kita semangat dan agar menjauhkan diri kita dari penyakit malas tersebut. Wallohu A’lam bishowab.

Semoga tips di atas dapat bermanfaat bagi penulis ataupun bagi pembaca. Selamat tinggal Malas…

Maraji’: Kaifa Tatahammas

***

Artikel www.muslimah.or.id

Wahai Anakku, Beginilah Cara Minum Rasulullah


Penyusun: Ummu Aiman

Muroja’ah: Ustadz Nur Kholis bin Kurdian

Para ibu muslimah yang semoga dirahmati oleh Allah, mendidik anak adalah salah satu tugas mulia seorang ibu. Ketika kita berusaha untuk mendidik anak kita sebaik mungkin dan dengan mengharapkan ridha Allah, maka usaha kita tersebut dapat berbuah pahala. Bagaimana tidak, bukankah membina anak agar menjadi generasi yang sholih dan sholihah adalah salah satu bentuk jihadnya para ibu?

Salah satu bentuk pengajaran kepada si kecil adalah mengajarinya tentang adab dan akhlak mulia dalam Islam. Karena bagaimanapun, seorang ibu memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan pribadi anak. Jika sang ibu berakhlak baik maka si kecil pun akan meniru ibunya karena biasanya waktu anak lebih banyak bersama ibunya. Diantara adab yang semestinya kita ajarkan kepada si kecil adalah adab ketika minum.

Inilah Adab Minum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Aktivitas minum merupakan aktivitas yang lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Sehingga hal ini merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan pengajaran bagi anak-anak kita dan melatihnya agar terbiasa minum sesuai dengan tauladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa adab minum yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain:

  1. Meniatkan minum untuk dapat beribadah kepada Allah agar bernilai pahala.

    Segala perkara yang mubah dapat bernilai pahala jika disertai dengan niat untuk beribadah. Wahai ibu, maka niatkanlah aktivitas minum kita dengan niat agar dapat beribadah kepada Allah. Dan janganlah lupa memberitahukan anak tentang hal ini.

  2. Memulai minum dengan membaca basmallah.

    Diantara sunnah Nabi adalah mengucapkan basmallah sebelum minum. Hal ini berdasarkan hadits yang memerintahkan membaca ‘bismillah’ sebelum makan. Bacaan bismillah yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan bismillah tanpa tambahan ar-Rahman dan ar-Rahim.

    Dari Amr bin Abi Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, jika engkau hendak makan ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir)

    Dalam silsilah hadits shahihah, 1/611 Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim)Wahai ibu, jangan lupa untuk mengingatkan anak-anak kita untuk membaca ‘bismillah’ ketika hendak minum, agar setan tidak ikut serta menikmati makanan dan minuman yang sedang kita konsumsi.

  3. Minum dengan tangan kanan.

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika salah seorang dari kalian hendak makan, hendaklah makan dengan tangan kanan. Dan apabila ingin minum, hendaklah minum dengan tangan kanan. Sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim)Ajarkanlah pada si kecil untuk selalu menggunakan tangan kanan ketika makan dan minum. Seringkali si kecil lupa meskipun telah kita ajari, apalagi ketika menyantap makanan ringan (snack) bersama teman mainnya. Nah, saat kita melihatnya, ingatkanlah ia. Janganlah bosan dan merasa jemu untuk mengingatkan anak kita. Insyaa Allah jika kita melakukannya dengan ikhlas mengharap ridha Allah, Allah akan mengganti usaha kita tersebut dengan pahala.

  4. Tidak bernafas dan meniup air minum.

    Termasuk adab ketika minum adalah tidak bernafas dan meniup air minum. Ada beberapa hadits mengenai hal ini:Dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian minum maka janganlah bernafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263)

    Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernafas atau meniup wadah air minum.” (HR. Turmudzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani).Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan, “Larangan bernafas dalam wadah air minum adalah termasuk etika karena dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau menimbulkan bau yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung yang jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu.

    Dalam Zaadul Maad IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupinya.

  5. Bernafas tiga kali ketika minum.

    Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum beliau mengambil nafas di luar wadah air minum sebanyak tiga kali.” Dan beliau bersabda, “Hal itu lebih segar, lebih enak dan lebih nikmat.”

    Anas mengatakan, “Oleh karena itu ketika aku minum, aku bernafas tiga kali.” (HR. Bukhari no. 45631 dan Muslim no. 2028). Yang dimaksud bernafas tiga kali dalam hadits di atas adalah bernafas di luar wadah air minum dengan menjauhkan wadah tersebut dari mulut terlebih dahulu, karena bernafas dalam wadah air minum adalah satu hal yang terlarang sebagaimana penjelasan di atas.

  6. Larangan minum langsung dari mulut teko/ceret.

    Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah melarang minum langsung dari mulut qirbah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya.” (HR Bukhari no. 5627).

    Menurut sebagian ulama minum langsung dari mulut teko hukumnya adalah haram, namun mayoritas ulama mengatakan hukumnya makruh. Ketahuilah wahai para ibu muslimah, yang sesuai dengan adab islami adalah menuangkan air tersebut ke dalam gelas kemudian baru meminumnya.Dari Kabsyah al-Anshariyyah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahku lalu beliau minum dari mulut qirbah yang digantungkan sambil berdiri. Aku lantas menuju qirbah tersebut dan memutus mulut qirbah itu.” (HR. Turmudzi no. 1892, Ibnu Majah no. 3423 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

    Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air. Untuk mengkompromikan dengan hadits-hadits yang melarang, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Hadits yang menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air itu berlaku dalam kondisi terpaksa.” Mengompromikan dua jenis hadits yang nampak bertentangan itu lebih baik daripada menyatakan bahwa salah satunya itu mansukh (tidak berlaku).”(Fathul Baari, X/94)

  7. Minum dengan posisi duduk.

    Terdapat hadits yang melarang minum sambil berdiri. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa sehingga minum sambil berdiri, maka hendaklah ia berusaha untuk memuntahkannya.” (HR. Ahmad no 8135)

    Namun disamping itu, terdapat pula hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri. Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637, dan Muslim no. 2027)Dalam hadits yang pertama Rasulullah melarang minum sambil berdiri sedangkan hadits kedua adalah dalil bolehnya minum sambil berdiri. Kedua hadits tersebut adalah shahih. Lalu bagaimana mengkompromikannya?

    Mengenai hadits di atas, ada ulama yang berkesimpulan minum sambil berdiri diperbolehkan, meski yang lebih utama adalah minum sambil duduk. Diantara ulama tersebut adalah Imam Nawawi dan Syaikh Utsaimin. Meskipun minum sambil berdiri diperbolehkan, namun yang lebih utama adalah sambil duduk karena makan dan minum sambil duduk adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Minum sambil berdiri tidaklah haram akan tetapi melakukan hal yang kurang utama.

  8. Menutup bejana air pada malam hari.

    Biasakan diri kita untuk menutup bejana air pada malam hari dan jangan lupa mengajarkan anak kita tentang hal ini. Sebagaimana hadits dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda,

    “Tutuplah bejana-bejana dan wadah air. Karena dalam satu tahun ada satu malam, ketika ituturun wabah, tidaklah ia melewati bejana-bejana yang tidak tertutup, ataupun wadah air yang tidak diikat melainkan akan turun padanya bibit penyakit.” (HR. Muslim)

  9. Puas dengan minuman yang ada dan tidak mencelanya.
    Ajarkan pula kepada anak, bahwa kita tidak boleh mencela makanan walaupun kita tidak menyukainya.

Para ibu muslimah, itulah beberapa adab ketika minum sesuai kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Alangkah senangnya hati ini ketika kita melihat anak-anak kita meniru kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan membiasakan adab islami kepada anak semenjak kecil, Insya Allah saat dewasa kelak anak-anak akan lebih mudah untuk melaksanakan adab-adab dalam islam dalam kesehariannya, karena ia sudah terbiasa. Maka janganlah bosan untuk mengingatkan si kecil. Semoga Allah membalas usaha kita dengan pahala yang berlipat ganda. Amiin.

Disusun ulang dari:
Artikel Ustadz Aris Munandar tentang “Adab-Adab Makan Seorang Muslim” di www.muslim.or.id
Minhaajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jazairi

***
Artikel muslimah.or.id

Jom baca ini juga ...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Catatan Anda Dihargai... Terima Kasih :)

Siapakah Penulis Yang Baik?

Penulis yang baik adalah yang penulisannya memberikan kesan kepada jiwa insan. Seterusnya, penulis itu mampu menjadi inspirasi, contoh, qudwah kepada pembacanya.

Akhirnya sekali, dia tidak akan hanya tersekat dalam alam penulisan, bahkan di alam realiti dia tetap mampu menjadi satu model kepada ummat.

Penulis Yang Terbaik

Tips 1: Hubungan Dengan Allah SWT

Ya, hubungan dengan Allah SWT. Seorang yang hendak menjadi penulis yang terbaik perlulah menjaga hubungannya dengan Allah SWT. Mencintai perintah-Nya dan melaksanakannya. Membenci kemungkaran ke arah-Nya dan mencegahnya. Tidak melekatkan diri kepada apa yang Allah murka dan sentiasa berusaha mempertingkatkan kualiti diri di hadapan-Nya.

Kenapa hubungan dengan Allah SWT itu diletakkan yang pertama?

Banyak sebab. Tapi, antara sebab yang utama adalah, kita hendak menulis sesuatu yang memberi kesan pada jiwa insan. Justeru, apakah logik kita tidak meminta kepada Yang Membolak Balikkan Jiwa Insan? Kita perlu sedar bahawa, Allahlah TUAN kepada Hidayah. Bukankah adalah perkara yang normal kita tunduk kepada-Nya agar dia membantu kita? Sedang kita ini tidak mampu memberikan hidayah walau kepada orang yang kita cintai.


Sesungguhnya kau tidak akan mampu memberikan hidayah kepada orang yang kau cintai, tetapi Allah lah yang memberikan hidayah kepada sesiapa yang dia kehendaki…” Surah Al-Qasas ayat 56.

Tips 2: Kerendahan Hati
Seorang yang ingin menggerakkan dirinya menjadi penulis yang baik, perlulah mendidik jiwa dan hatinya untuk sentiasa rendah. Rendah di sini adalah merasa kerdil di hadapan Allah SWT. Ini untuk menjaga keikhlasan, mengelakkan diri dari riya’, ujub, takabbur.
Riya’, ujub, takabbur, semua itu adalah hijab dalam amalan. Ia membuang keberkesanan penyampaian kita. Sifat-sifat mazmumah itu akan menyebabkan perjalanan penulisan kita juga terpesong. Nanti kita akan rasa cepat hendak membantah pendapat orang lain, tidak boleh ditegur, rasa senang nak menyalahkan orang dan sebagainya.

Kerendahan hati sangat penting dalam menjamin kebersihan perjalanan penulisan kita.

Apakah hati yang hitam mampu mencahayakan hati yang lain?

Tips 3: Dahagakan Ilmu
Kita tidak mencari ilmu seperti orang yang sudah kekenyangan. Maka kita akan rasa malas untuk menambah ilmu apabila kita rasa diri kita sudah penuh. Seorang penulis perlu sentiasa merasakan dirinya tidak cukup. Maka dia akan bergerak untuk mengisi dirinya dengan pelbagai ilmu.

Ilmu penulisan, ilmu-ilmu asas kehidupan, ilmu bahasa, ilmu realiti, dan bermacam-macam ilmu lagi.

Penulis perlu sedar bahawa, seseorang yang tidak mempunyai apa-apa, tidak akan mampu memberikan apa-apa.

Maka seorang penulis perlu mempunyai ‘apa-apa’ untuk menulis.

Amatlah penting bagi seorang penulis untuk mengekspansikan capaian ilmunya. Ilmu bukan sekadar di dalam kelas, di dalam buku teks. Bahkan seluruh kehidupan ini mampu dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Semuanya boleh diambil dan diterjemahkan kepada idea.

Banyak membuat kajian, banyak membuat pembacaan, banyak bertanya, banyak memerhati dan banyak berfikir. Ilmu-ilmu yang berjaya diraih, insyaAllah akan mampu menjadi ‘trigger’ kepada idea.

Tips 4: Disiplin

Tidak akan mampu seseorang itu menjadi penulis yang terbaik tanpa disiplin. Perlu ada disiplin dalam menulis. Perlu juga ada disiplin dalam mengimbangi kehidupan sebagai penulis dan sebagai pelajar, pekerja, anak, bapa, ibu dan sebagainya.

Sebab itu, apa yang saya selalu lakukan dalam hal disiplin ini adalah JADUAL.

Susun waktu. Sesungguhnya Allah tak akan memberikan manusia 24 jam sekiranya 24 jam itu tidak cukup untuk manusia. Tetapi manusialah yang tidak menggunakan 24 jam itu dengan sebaik-baiknya. Sebab itulah kita sering merasakan kita tidak mampu melaksanakan kerja.


Tips 5: Istiqomah
Seorang penulis yang terbaik itu, mencapai tahapnya yang tertinggi adalah apabila dia istiqomah. Bukannya bila pelawat website, blog sudah mencapai juta, dia mula bermalas-malasan.

Orang kata, hendak menjadi juara itu tidak sesusah hendak mengekalkan kejuaraan.

Penulis yang mampu menjadi contoh adalah penulis yang istiqomah.

Istiqomah dalam penulisannya. Istiqomah pula dalam menjaga peribadinya dalam menjadi qudwah kepada ummah.

Penutup

Saya tak rasa gembira kalau pembaca membaca penulisan saya, kemudian dia rasa seronok-seronok,tanpa membawa apa-apa daripada penulisan saya ke dalam kehidupannya.

Pada saya, seorang penulis itu bukan seorang penghibur.

Penulis adalah yang membina ideologi ummah, memimpin pemikiran ummah.

Justeru, penulis yang berjaya, adalah penulis yang penlisannya mampu memberikan kesan kepada kehidupan manusia.


~Hilal Asyraf ~

ms.langitilahi.com