Monday, November 23, 2009

Panduan Ibadah Qurban (bagian 1)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang ertinya, Maka solatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah haiwan.” (Qs. Al Kautsar: 2) Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; yang dimaksud dengan menyembelih haiwan adalah menyembelih haiwan qurban setelah solat Ied.” Pendapat ini dinukil dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534, Taudhihul Ahkaam IV/450, & Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih haiwan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis).

Pengertian Udh-hiyah

Udh-hiyah adalah haiwan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)

Keutamaan Qurban

Menyembelih qurban termasuk amal solih yang paling utama. ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)

Hadis di atas didla’ifkan oleh Syaikh Al Albani (Dla’if Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahawa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau seharga dengan hewan qurban, atau bahkan lebih utama dari pada sedekah yang lebih banyak dari pada nilai haiwan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Bukan semata-mata nilai binatangnya. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)

Hukum Qurban

Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:

Pertama: Wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad beserta beberapa ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu nampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mahu berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat solat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khuatir kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Al Muhalla 5/295, dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah II/367-368, dan Taudhihul Ahkaam, IV/454).

Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasihatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam. (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120).

Yakinlah…! Bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (kedekut).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).

Haiwan yang Boleh Digunakan untuk Qurban

Haiwan qurban hanya boleh dari jenis Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak). Dalilnya adalah firman Allah yang ertinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezeki yang dilimpahkan kepada kalian berupa haiwan-haiwan ternak (bahiimatul an’aam).” (Qs. Al Hajj: 34). Dalam bahasa arab, yang dimaksud Bahiimatul Al An’aam hanya mencakup tiga binatang iaitu unta, sapi atau kambing. Oleh karena itu, berqurban hanya sah dengan tiga haiwan tersebut dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahawasanya qurban tidak sah kecuali dengan haiwan-haiwan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis haiwan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga RM1000. sedangkan seekor kambing harganya hanya RM300 maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’ III/409)

Seekor Kambing untuk Satu Keluarga

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266)

Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya qurban tahun ini untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban, sebelum menyembelih beliau mengatakan: “Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan unta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan qurban unta hanya boleh dari maksimal 10 orang.

Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik haiwan? Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi pemberian sedekah mahupun hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah mahupun hadiah.

Ketentuan Untuk Sapi & Onta

Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor unta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406).

Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Ertinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut berkorban.

Arisan(main kutu) untuk Qurban Kambing?

Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36)[1]. Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.

Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net dibawah bimbingan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena wangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika dihadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).

Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbezaan ini didasari oleh perbezaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban terkait dengan orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau hutang yang jatuh tempohnya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari padaqurban terkait dengan orang yang kesulitan melunasi hutang atau orang yang memiliki hutang dan pemiliknya meminta agar segera dilunasi.

Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh tempohnya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.

Hukum Qurban Kerbau

Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya dianggap sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau. Baik dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari madzhab Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.

Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.

Isi Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbezaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”

Beliau menjawab:
“Jika kerbau termasuk (jenis) sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis haiwan) yang Allah sebut dalam al-qur’an adalah jenis haiwan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk haiwan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)

Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahawa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.


Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?


Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:

  • Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk yang sudah meninggal.
  • Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari si mati . Sebagian ulama madzhab Hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada si mati, sebagaimana sedekah atas nama si mati (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahawasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang telah meninggal, mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa berqurban atas nama orang yang sudah meninggal secara khusus tanpa ada wasiat sebelumnya adalah tidak disyariatkan. Karena Nabi r tidak pernah melakukan hal itu. Padahal beliau sangat mencintai keluarganya yang telah meninggal seperti isteri beliau tercinta Khadijah dan bapa saudara beliau Hamzah.
  • Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena si mati pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuk dirinya jika dia meninggal. Berqurban untuk si mati untuk hal ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mati. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51)

Umur Haiwan Qurban

Dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)

Musinnah adalah haiwan ternak yang sudah dewasa, diambil dari kata sinnun yang ertinya gigi. Haiwan tersebut dinamakan musinnah karena haiwan tersebut sudah ganti gigi . Adapun rincian usia haiwan musinnah adalah:

No. Hewan Usia minimal
1. Unta 5 tahun
2. Sapi 2 tahun
3. Kambing
1 tahun
4. Domba 6 bulan (domba Jadza’ah)

(lihat Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)

Apakah yang menjadi acuan usianya ataukah ganti giginya?

Yang menjadi acuan hewan tersebut boleh digolongkan musinnah adalah usianya. Karena penamaan musinnah untuk haiwan yang sudah genap usia qurban adalah penamaan dengan umumnya kasus yang terjadi. Ertinya, umumnya kambing yang sudah berusia 1 tahun atau sapi 2 tahun itu sudah ganti gigi. Disamping itu, ketika para ulama menjelaskan batasan haiwan musinnah dan haiwan jadza’ah, mereka menjelaskannya dengan batasan usia. Dengan demikian, andaikan ada sapi yang sudah berusia 2 tahun namun belum ganti gigi, boleh digunakan untuk berqurban. Allahu a’lam.

Berqurban dengan domba jadza’ah itu dibolehkan secara mutlak ataukah bersyarat

Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. An Nawawi menyebutkan ada beberapa pendapat:

Pertama, boleh berqurban dengan haiwan jadza’ah dengan syarat kesulitan untuk berqurban dengan musinnah. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn Umar dan Az Zuhri. Mereka berdalil dengan makna dlahir hadis di atas.

Kedua, dibolehkan berqurban dengan domba jadza’ah (usia 6 bulan) secara mutlak. Meskipun shohibul qurban memungkinkan untuk berqurban dengan musinnah (usia 1 tahun). Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama. Sedangkan hadis Jabir di atas dimaknai dengan makna anjuran. Sebagaimana dianjurkannya untuk memilih haiwan terbaik ketika qurban.

InsyaaAllah pendapat kedua inilah yang lebih kuat. Karena pada hadis Jabir di atas tidak ada keterangan terlarangnya berqurban dengan domba jadza’ah dan tidak ada keterangan bahwa berqurban dengan jadza’ah hukumnya tidak sah. Oleh karena itu, Jumhur ulama memaknai hadis di atas sebagai anjuran dan bukan kewajiban. Allahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim An Nawawi 6/456)

Cacat Hewan Qurban

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:

a. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 [2]:

- Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakikatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula haiwan yang rabun senja. Ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan haiwan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.

- Sakit dan jelas sekali sakitnya. Tetapi jika sakitnya belum jelas, misalnya, haiwan tersebut kelihatannya masih sehat maka boleh diqurbankan.

- Tempang dan tampak jelas tempangnya
Ertinya tempang dan tidak mampu berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan tempang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan haiwan qurban.

- Sangat tua sampai-sampai tidak mempunyai sumsum tulang
Dan jika ada haiwan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).

b. Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 [3]:

- Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
- Tanduknya pecah atau patah

(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

c. Cacat yang tidak berpengaruh pada haiwan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.

Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status haiwan qurban. Misalnya tidak bergigi, tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

Footnotes:

[1] Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: “Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (Qs. Al Hajj: 36). (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36)

[2] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat haiwan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat…dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)

[3] Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan haiwan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dho’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)

***

Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id

Monday, November 16, 2009

Hassan Al-Banna : Sebagai Suami dan Ayah

Semasa Kecil

Hassan al-Banna lahir dalam keluarga yang sederhana. Dia menerima didikan agama daripada bapanya, seorang lulusan Universiti Al-Azhar. Bapanya memainkan peranan besar dalam membentuk peribadi anak-anaknya. Mereka membudayakan ilmu dan ibadah dalam keluarga. Keluarganya mempunyai sebuah perpustakaan yang besar dan juga kerap mengadakan perbincangan dan kelas ilmu di rumah.

Beliau telah menghafal al-Quran semenjak umurnya 12 tahun. Umur yang kebanyakan anak-anak zaman sekarang hanyut dengan permainan video.
Inilah warisan seorang ayah. Ilmu yang diturunkan kepada anaknya melahirkan individu yang cemerlang.

Isteri dan Ibu untuk Anak-anaknya

Wahai Ummu Wafa, Istana Kita menanti di Syurga

Tidak sukar untuk mendidik jiwa yang sedia menerima. Imam Hassan al-Banna memilih Ummu Wafa sebagai isterinya dengan mengambil kira sikap bakal isterinya yang komited dengan Islam. Keluarganya sederhana tetapi dermawan dan baik hati.
Setelah pernikahan, dialah isteri yang setia menemani suaminya dan bersifat cukup dengan apa yang ada. Sehingga perabut di rumahnya terpaksa diambil hampir kesemuanya untuk kegunaan dakwah juga dia tidak berasa gundah. Peribadi mulia seorang isteri ini secara tak langsung menambahkan semangat juang suaminya. Bersama, ketika susah dan senang, sehinggalah ajal menjemput suaminya 12 Februari 1949.

Permata Hati Ayah

Aku ingin menyampaikan dakwah ini sampai kepada janin di perut ibunya

Wafa, Ahmad Saiful Islam, Dr Tsana, Ir Roja dan Dr Istisyhad, lima orang puteri, seorang putera menjadi hiasan hidupnya… Walaupun beliau syahid dan meninggalkan anak-anaknya ketika umur anak sulungnya 17 tahun dan yang bongsu masih dalam kandungan ibunya, tetapi didikan itu meresap dan menjadikan anak-anaknya insan yang berjaya.

Amalan Hassan Al-Banna dalam Mendidik Keluarga

Siapa lagi yang lebih layak menilai seorang lelaki sebagai bapa, jika bukan anak…

  1. Makan bersama, jadi keutamaan
    Walaupun sangat sibuk, beliau tetap berusaha untuk makan bersama keluarga.
    Tsana: “Beliau sangat mengerti apa yang dikatakan Rasulullah, “Sesungguhnya badanmu mempunyai hak, keluargamu juga punya hak...”
  2. Tidak Ada Suara Keras di Rumah Kami
    Tsana: “… kami tidak melihatnya seperti kebanyakan orang yang kerap berteriak atau bersuara keras di dalam rumah, akibat dari tekanan mental dan fizikalnya setelah penat bekerja”.
  3. Mahu Tahu Masa Kecilku? Rujuk Fail Ayah
    Tsana: “Ayah- semoga Allah merahmatinya- menyediakan masing-masing kami satu map khusus, yang digunakan untuk menghimpun semua hal yang khusus tentang kami untuk perbaikan atau kemajuan di sekolah, bahkan termasuk masalah makan. Ya, tentang masalah makan dan ubat-ubatan yang kami minum sejak kami lahir, juga tentang sakit yang pernah kami derita sejak kami lahir… “
  4. Sangat Lembut Terhadap Anak-anak Hasilnya, Kami Menuruti Tanpa Harus Diperintah
    Saiful Islam: “Ayah-semoga Allah merahmatinya- sangat lembut perasaannya. Beliau sangat memelihara perasaan anak-anak dengan begitu berhati-hati. Beliau mempunyai kemampuan yang menjadikan kami menurut tanpa memerlukan perintah untuk mentaatinya. Kami menganggap beliau mempunyai wibawa yang sedemikian besar yang menjadikan kami senang mengikuti keinginannya dan tidak mahu melawannya.”
  5. Mengajar Berinfaq
    Hassan al Banna tidak melupakan tentang pentingnya mendidik anak untuk menginfaqkan wangnya ke jalan Allah, seterusnya memberi manfaat kepada orang lain.
    Saiful Islam: “Ayah memberi kami sepuluh ma’adin untuk kami infaqkan seluruhnya setiap hari Jumaat setelah solat jumaat. Ayah tak pernah lupa dengan kebiasaan ini. Demikianlah aku jadi mengerti setelah itu, bahawa ternyata ayah mengirim salah seorang ikhwan untuk mengintip aku bagaimana aku menginfaqkan seluruh wang pemberiannya itu, sehingga ayah merasa tenang dengan penggunaan wang yang diamanahkan kepada aku.”
  6. Menasihati Tidak Secara Langsung
    Tsana: “Aku ingat ketika saudaraku Saiful Islam yang sangat suka membaca cerita komik. Ketika itu ayah tidak mengatakan kepadanya, agar buku itu tidak dibaca. Tapi ayah pergi dan memberinya kisah-kisah kemuliaan Islam seperti kisah Antarah bin Syadad, Shalahuddin Al Ayyubi dan lainnya. Sehinggalah akhirnya Saiful Islam meninggalkan sendiri buku Arsin Lobin dan lebih banyak membaca buku dari ayah. Ayah suka mengarahkan kami dengan tidak secara langsung agar apa yang kami lakukan itu tumbuh dari diri sendiri, bukan dari perintah ataupun tekanan siapapun.”
  7. Berinteraksi Secara Wajar Dengan Masyarakat
    Tsana: “Ayah membiarkan kami ikut pembelajaran di sekolah. Ayah juga mengizinkan kami berinteraksi secara wajar dengan jiran dan masyarakat. Dalam masa itu, jiran masing-masing saling mengenal. Ayah juga tidak melarang kami bermain dengan teman-teman kami di waktu tertentu, juga untuk hadir dalam berbagai pertemuan di pejabat Ikhwan. Mereka menyediakan meja untuk kami.”
  8. Tidak membeza-bezakan layanan antara anak
    Tsana: “Tidak ada perbezaan sikap ayah tehadap anak laki-laki mahupun perempuan. Bahan dalam pemberian hukuman tidak ada perbezaan. Tetap ada keseimbangan dan keadilan dalam pendidikannya.”
    Ini bersesuaian dengan sabda Rasulullah SAW
    “Persamakanlah anak-anak kalian dalam pemberian. Andai aku boleh memilih pengutamaan, nescaya aku lebih memilih mengutamakan perempuan.” (HR Thabrani dalam Kabiir dari Ibnu Abbas ra)
  9. Rak-Rak Buku Yang Menjadi Saksi
    Hasan Al Banna sangat mengambil berat pendidikan anak-anaknya. Itu tercermin dalam hal berikut:
    a. Setiap anak punya ruangan sendiri berisi buku mereka dalam perpustakaan keluarga.
    b. Memberi wang bulanan untuk anak-anaknya membeli buku yang mereka minati.
  10. Keterlibatan Yang Bijaksana Mengenai Sekolah
    Tsana: “Aku ingat sebuah peristiwa yang terjadi antara aku dengan saudaraku Wafa. Ketika ia mulai memakai jilbab di sekolah, seorang guru sekolah yang mengajarkan pelajaran etika keperempuanan menyampaikan bahwa pakaian muslimah menurutnya tidak sejalan dengan peraturan sekolah... Ketika itulah, Hasan Al Banna segera menghubungi guru tersebut melalui telefon. Al Banna meyakinkan guru dengan kewajiban menutup aurat dan memakai jilbab. Hasilnya positif...”
  11. Ayah Memberi Kami Hukuman
    Tsana: “Jarang sekali ayah menghukum kami. Kecuali bila ada sesuatu yang memang dianggap kesalahan berat atau terkait dengan pelanggaran perintahnya yang sebelumnya sudah diingatkan kepada kami. Jika kami bersalah dalam masalah ini, tentu saja kami mendapatkan hukuman, sebagaimana metode punishment and reward dalam pendidikan. Tapi itu jarang terjadi. Aku dua kali mendapat hukuman dari ayah. Kali pertama ketika aku keluar tanpa memakai sandal, dan kedua ketika aku memukul pembantu di rumah... “
    “…Suatu ketika aku duduk di atas tangga itu dan melihat ayah datang dari kejauhan. Aku segera bangun dan menghampirinya tanpa menggunakan sandal. Padahal ayah sudah menyiapkan sandal untuk bermain dan sepatu untuk ke sekolah. Aku pergi begitu saja, lupa memakai sandal. Ketika itu ayah hanya melihatku sebentar saja, hanya sepintas. Dan saat itu pula aku sadar bahwa aku pasti akan mendapatkan hukuman. Aku segera kembali ke rumah.
    “Setelah para ikhwan pulang, ayah masuk ke ruang makan dan memanggilku. Aku datang dengan langkah lambat karena takut. Ayah berkata, “Duduklah di atas kerusi, dan angkat dua kakimu.” Ayah lalu memukul kakiku dengan pembaris pendek. Setiap belah kaki dipukul sepuluh kali. Tapi terus terang aku sebenarnya ingin tertawa, karena pukulannya pelan sekali sampai aku tidak merasakannya. Ayah hanya ingin membuat aku mengerti bahwa aku telah melakukan kesalahan.”
  12. Ayah dan Ibu Kami, Pasangan Romantis dan Harmonis
    Tsana: “Pernah suatu hari ayah pulang agak malam dan ibuku sedang tidur. Ketika itulah saya melihat penerapan firman Allah SWT, “Dan (Dia) menjadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang”. Ketika itu ayah tidak membangunkan ibu sama sekali, ayah menyiapkan sendiri makanannya dan seluruh keperluannya untuk menjamu tetamu yang datang. Ayah kulihat masuk ke dapur dan mempersiapkan makan malam sendiri. Ayah tahu letak semua rencah dan perabutan di dapur. Secara pantas, ayah menyiapkan makanan, kuih dan minuman untuk para Ikhwan. Ayah juga menyediakan roti dan menyusun meja makan sampai kemudian mereka makan malam bersama.”

Petikan dari buku
Cinta di Rumah Hassan al-Banna
Mohammad Lili Nur Aulia
Alam Raya Enterprise

ratuhati.com

Tuesday, November 3, 2009

BOIKOT ISRAEL : Antara Kepentingan Peribadi & Kepentingan Ummah ?



Salam ukhwah untuk semua. Boikot Israel adalah isu lapuk yang yang tidak akan habis dibicarakan dan diperjuangkan oleh mereka yang mengaku bahawa mereka adalah muslim yang cintakan Islam, cintakan Allah, Rasul, Masjidil Aqsa dan seluruh umat Islam terutama yang berada di bumi Palestina khususnya.

Dalam memperjaungkan BOIKOT ISRAEL, yang mana yang patut kita menangkan : KEPENTINGAN PERIBADI atau KEPENTINGAN UMMAH ?

KEPENTINGAN PERIBADI :
1. Harga Produk Boikot lebih murah berbanding barangan alternatif terutama bagi penggila TESCO.
2. Produk Boikot adalah barangan yang berjenama dan sering keluar dalam iklan tv.
3. Produk Boikot senang didapati di mana - mana pasaraya atau kedai runcit di seluruh negara.
4. Produk Boikot adalah barangan keperluan yang telah menjadi darah daging kita sejak dari kecil seperti MILO, NESTLE, UNZA, UNILIVER, J&J, COCA-COLA DSB.

Yang pasti bagi kita, penderitaan di Palestine jauh dari penglihatan, pendengaran dan pengetahuan kita. Yang mati itu bukannya anak atau saudara mara kita, yang dirobohkan itu bukannya rumah - rumah kita. Lalu sekadar lisan yang menggungkapkan simpati sedangkan kita enggan untuk turut membantu dengan menghalang kekejaman yang menimpa mereka kerena nasib malang itu bukan menimpa kita tapi mereka.

KEPENTINGAN KITA & UMMAH :
1. Dengan memboikot Produk Boikot, kita menyekat bantuan kewangan ISRAEL untuk memusnahkan umat Islam di bumi Palestina khasnya. Ada pahala dalam jihad ini untuk kita.
2. Barangan Muslim lebih terjamin kualiti barangan dan kehalalannya. Barangan yang baik dan halal baik untuk pertumbuhan fizikal dan pembantukan peribadi mukmin yang sejati.
3. Dengan memperjuangkan barangan muslim, ia dapat membantu perkembangan ekonomi umat Islam itu sendiri untuk menegakkan kalimah Allah di muka bumi.
4. Barangsiapa yang membantu orang muslim yang berada dalam kesusahan, maka Allah akan membantu setiap kesulitannya.

-> tepuk dada, tanyalah iman .

Jom baca ini juga ...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Catatan Anda Dihargai... Terima Kasih :)

Siapakah Penulis Yang Baik?

Penulis yang baik adalah yang penulisannya memberikan kesan kepada jiwa insan. Seterusnya, penulis itu mampu menjadi inspirasi, contoh, qudwah kepada pembacanya.

Akhirnya sekali, dia tidak akan hanya tersekat dalam alam penulisan, bahkan di alam realiti dia tetap mampu menjadi satu model kepada ummat.

Penulis Yang Terbaik

Tips 1: Hubungan Dengan Allah SWT

Ya, hubungan dengan Allah SWT. Seorang yang hendak menjadi penulis yang terbaik perlulah menjaga hubungannya dengan Allah SWT. Mencintai perintah-Nya dan melaksanakannya. Membenci kemungkaran ke arah-Nya dan mencegahnya. Tidak melekatkan diri kepada apa yang Allah murka dan sentiasa berusaha mempertingkatkan kualiti diri di hadapan-Nya.

Kenapa hubungan dengan Allah SWT itu diletakkan yang pertama?

Banyak sebab. Tapi, antara sebab yang utama adalah, kita hendak menulis sesuatu yang memberi kesan pada jiwa insan. Justeru, apakah logik kita tidak meminta kepada Yang Membolak Balikkan Jiwa Insan? Kita perlu sedar bahawa, Allahlah TUAN kepada Hidayah. Bukankah adalah perkara yang normal kita tunduk kepada-Nya agar dia membantu kita? Sedang kita ini tidak mampu memberikan hidayah walau kepada orang yang kita cintai.


Sesungguhnya kau tidak akan mampu memberikan hidayah kepada orang yang kau cintai, tetapi Allah lah yang memberikan hidayah kepada sesiapa yang dia kehendaki…” Surah Al-Qasas ayat 56.

Tips 2: Kerendahan Hati
Seorang yang ingin menggerakkan dirinya menjadi penulis yang baik, perlulah mendidik jiwa dan hatinya untuk sentiasa rendah. Rendah di sini adalah merasa kerdil di hadapan Allah SWT. Ini untuk menjaga keikhlasan, mengelakkan diri dari riya’, ujub, takabbur.
Riya’, ujub, takabbur, semua itu adalah hijab dalam amalan. Ia membuang keberkesanan penyampaian kita. Sifat-sifat mazmumah itu akan menyebabkan perjalanan penulisan kita juga terpesong. Nanti kita akan rasa cepat hendak membantah pendapat orang lain, tidak boleh ditegur, rasa senang nak menyalahkan orang dan sebagainya.

Kerendahan hati sangat penting dalam menjamin kebersihan perjalanan penulisan kita.

Apakah hati yang hitam mampu mencahayakan hati yang lain?

Tips 3: Dahagakan Ilmu
Kita tidak mencari ilmu seperti orang yang sudah kekenyangan. Maka kita akan rasa malas untuk menambah ilmu apabila kita rasa diri kita sudah penuh. Seorang penulis perlu sentiasa merasakan dirinya tidak cukup. Maka dia akan bergerak untuk mengisi dirinya dengan pelbagai ilmu.

Ilmu penulisan, ilmu-ilmu asas kehidupan, ilmu bahasa, ilmu realiti, dan bermacam-macam ilmu lagi.

Penulis perlu sedar bahawa, seseorang yang tidak mempunyai apa-apa, tidak akan mampu memberikan apa-apa.

Maka seorang penulis perlu mempunyai ‘apa-apa’ untuk menulis.

Amatlah penting bagi seorang penulis untuk mengekspansikan capaian ilmunya. Ilmu bukan sekadar di dalam kelas, di dalam buku teks. Bahkan seluruh kehidupan ini mampu dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Semuanya boleh diambil dan diterjemahkan kepada idea.

Banyak membuat kajian, banyak membuat pembacaan, banyak bertanya, banyak memerhati dan banyak berfikir. Ilmu-ilmu yang berjaya diraih, insyaAllah akan mampu menjadi ‘trigger’ kepada idea.

Tips 4: Disiplin

Tidak akan mampu seseorang itu menjadi penulis yang terbaik tanpa disiplin. Perlu ada disiplin dalam menulis. Perlu juga ada disiplin dalam mengimbangi kehidupan sebagai penulis dan sebagai pelajar, pekerja, anak, bapa, ibu dan sebagainya.

Sebab itu, apa yang saya selalu lakukan dalam hal disiplin ini adalah JADUAL.

Susun waktu. Sesungguhnya Allah tak akan memberikan manusia 24 jam sekiranya 24 jam itu tidak cukup untuk manusia. Tetapi manusialah yang tidak menggunakan 24 jam itu dengan sebaik-baiknya. Sebab itulah kita sering merasakan kita tidak mampu melaksanakan kerja.


Tips 5: Istiqomah
Seorang penulis yang terbaik itu, mencapai tahapnya yang tertinggi adalah apabila dia istiqomah. Bukannya bila pelawat website, blog sudah mencapai juta, dia mula bermalas-malasan.

Orang kata, hendak menjadi juara itu tidak sesusah hendak mengekalkan kejuaraan.

Penulis yang mampu menjadi contoh adalah penulis yang istiqomah.

Istiqomah dalam penulisannya. Istiqomah pula dalam menjaga peribadinya dalam menjadi qudwah kepada ummah.

Penutup

Saya tak rasa gembira kalau pembaca membaca penulisan saya, kemudian dia rasa seronok-seronok,tanpa membawa apa-apa daripada penulisan saya ke dalam kehidupannya.

Pada saya, seorang penulis itu bukan seorang penghibur.

Penulis adalah yang membina ideologi ummah, memimpin pemikiran ummah.

Justeru, penulis yang berjaya, adalah penulis yang penlisannya mampu memberikan kesan kepada kehidupan manusia.


~Hilal Asyraf ~

ms.langitilahi.com