Monday, November 16, 2009

Hassan Al-Banna : Sebagai Suami dan Ayah

Semasa Kecil

Hassan al-Banna lahir dalam keluarga yang sederhana. Dia menerima didikan agama daripada bapanya, seorang lulusan Universiti Al-Azhar. Bapanya memainkan peranan besar dalam membentuk peribadi anak-anaknya. Mereka membudayakan ilmu dan ibadah dalam keluarga. Keluarganya mempunyai sebuah perpustakaan yang besar dan juga kerap mengadakan perbincangan dan kelas ilmu di rumah.

Beliau telah menghafal al-Quran semenjak umurnya 12 tahun. Umur yang kebanyakan anak-anak zaman sekarang hanyut dengan permainan video.
Inilah warisan seorang ayah. Ilmu yang diturunkan kepada anaknya melahirkan individu yang cemerlang.

Isteri dan Ibu untuk Anak-anaknya

Wahai Ummu Wafa, Istana Kita menanti di Syurga

Tidak sukar untuk mendidik jiwa yang sedia menerima. Imam Hassan al-Banna memilih Ummu Wafa sebagai isterinya dengan mengambil kira sikap bakal isterinya yang komited dengan Islam. Keluarganya sederhana tetapi dermawan dan baik hati.
Setelah pernikahan, dialah isteri yang setia menemani suaminya dan bersifat cukup dengan apa yang ada. Sehingga perabut di rumahnya terpaksa diambil hampir kesemuanya untuk kegunaan dakwah juga dia tidak berasa gundah. Peribadi mulia seorang isteri ini secara tak langsung menambahkan semangat juang suaminya. Bersama, ketika susah dan senang, sehinggalah ajal menjemput suaminya 12 Februari 1949.

Permata Hati Ayah

Aku ingin menyampaikan dakwah ini sampai kepada janin di perut ibunya

Wafa, Ahmad Saiful Islam, Dr Tsana, Ir Roja dan Dr Istisyhad, lima orang puteri, seorang putera menjadi hiasan hidupnya… Walaupun beliau syahid dan meninggalkan anak-anaknya ketika umur anak sulungnya 17 tahun dan yang bongsu masih dalam kandungan ibunya, tetapi didikan itu meresap dan menjadikan anak-anaknya insan yang berjaya.

Amalan Hassan Al-Banna dalam Mendidik Keluarga

Siapa lagi yang lebih layak menilai seorang lelaki sebagai bapa, jika bukan anak…

  1. Makan bersama, jadi keutamaan
    Walaupun sangat sibuk, beliau tetap berusaha untuk makan bersama keluarga.
    Tsana: “Beliau sangat mengerti apa yang dikatakan Rasulullah, “Sesungguhnya badanmu mempunyai hak, keluargamu juga punya hak...”
  2. Tidak Ada Suara Keras di Rumah Kami
    Tsana: “… kami tidak melihatnya seperti kebanyakan orang yang kerap berteriak atau bersuara keras di dalam rumah, akibat dari tekanan mental dan fizikalnya setelah penat bekerja”.
  3. Mahu Tahu Masa Kecilku? Rujuk Fail Ayah
    Tsana: “Ayah- semoga Allah merahmatinya- menyediakan masing-masing kami satu map khusus, yang digunakan untuk menghimpun semua hal yang khusus tentang kami untuk perbaikan atau kemajuan di sekolah, bahkan termasuk masalah makan. Ya, tentang masalah makan dan ubat-ubatan yang kami minum sejak kami lahir, juga tentang sakit yang pernah kami derita sejak kami lahir… “
  4. Sangat Lembut Terhadap Anak-anak Hasilnya, Kami Menuruti Tanpa Harus Diperintah
    Saiful Islam: “Ayah-semoga Allah merahmatinya- sangat lembut perasaannya. Beliau sangat memelihara perasaan anak-anak dengan begitu berhati-hati. Beliau mempunyai kemampuan yang menjadikan kami menurut tanpa memerlukan perintah untuk mentaatinya. Kami menganggap beliau mempunyai wibawa yang sedemikian besar yang menjadikan kami senang mengikuti keinginannya dan tidak mahu melawannya.”
  5. Mengajar Berinfaq
    Hassan al Banna tidak melupakan tentang pentingnya mendidik anak untuk menginfaqkan wangnya ke jalan Allah, seterusnya memberi manfaat kepada orang lain.
    Saiful Islam: “Ayah memberi kami sepuluh ma’adin untuk kami infaqkan seluruhnya setiap hari Jumaat setelah solat jumaat. Ayah tak pernah lupa dengan kebiasaan ini. Demikianlah aku jadi mengerti setelah itu, bahawa ternyata ayah mengirim salah seorang ikhwan untuk mengintip aku bagaimana aku menginfaqkan seluruh wang pemberiannya itu, sehingga ayah merasa tenang dengan penggunaan wang yang diamanahkan kepada aku.”
  6. Menasihati Tidak Secara Langsung
    Tsana: “Aku ingat ketika saudaraku Saiful Islam yang sangat suka membaca cerita komik. Ketika itu ayah tidak mengatakan kepadanya, agar buku itu tidak dibaca. Tapi ayah pergi dan memberinya kisah-kisah kemuliaan Islam seperti kisah Antarah bin Syadad, Shalahuddin Al Ayyubi dan lainnya. Sehinggalah akhirnya Saiful Islam meninggalkan sendiri buku Arsin Lobin dan lebih banyak membaca buku dari ayah. Ayah suka mengarahkan kami dengan tidak secara langsung agar apa yang kami lakukan itu tumbuh dari diri sendiri, bukan dari perintah ataupun tekanan siapapun.”
  7. Berinteraksi Secara Wajar Dengan Masyarakat
    Tsana: “Ayah membiarkan kami ikut pembelajaran di sekolah. Ayah juga mengizinkan kami berinteraksi secara wajar dengan jiran dan masyarakat. Dalam masa itu, jiran masing-masing saling mengenal. Ayah juga tidak melarang kami bermain dengan teman-teman kami di waktu tertentu, juga untuk hadir dalam berbagai pertemuan di pejabat Ikhwan. Mereka menyediakan meja untuk kami.”
  8. Tidak membeza-bezakan layanan antara anak
    Tsana: “Tidak ada perbezaan sikap ayah tehadap anak laki-laki mahupun perempuan. Bahan dalam pemberian hukuman tidak ada perbezaan. Tetap ada keseimbangan dan keadilan dalam pendidikannya.”
    Ini bersesuaian dengan sabda Rasulullah SAW
    “Persamakanlah anak-anak kalian dalam pemberian. Andai aku boleh memilih pengutamaan, nescaya aku lebih memilih mengutamakan perempuan.” (HR Thabrani dalam Kabiir dari Ibnu Abbas ra)
  9. Rak-Rak Buku Yang Menjadi Saksi
    Hasan Al Banna sangat mengambil berat pendidikan anak-anaknya. Itu tercermin dalam hal berikut:
    a. Setiap anak punya ruangan sendiri berisi buku mereka dalam perpustakaan keluarga.
    b. Memberi wang bulanan untuk anak-anaknya membeli buku yang mereka minati.
  10. Keterlibatan Yang Bijaksana Mengenai Sekolah
    Tsana: “Aku ingat sebuah peristiwa yang terjadi antara aku dengan saudaraku Wafa. Ketika ia mulai memakai jilbab di sekolah, seorang guru sekolah yang mengajarkan pelajaran etika keperempuanan menyampaikan bahwa pakaian muslimah menurutnya tidak sejalan dengan peraturan sekolah... Ketika itulah, Hasan Al Banna segera menghubungi guru tersebut melalui telefon. Al Banna meyakinkan guru dengan kewajiban menutup aurat dan memakai jilbab. Hasilnya positif...”
  11. Ayah Memberi Kami Hukuman
    Tsana: “Jarang sekali ayah menghukum kami. Kecuali bila ada sesuatu yang memang dianggap kesalahan berat atau terkait dengan pelanggaran perintahnya yang sebelumnya sudah diingatkan kepada kami. Jika kami bersalah dalam masalah ini, tentu saja kami mendapatkan hukuman, sebagaimana metode punishment and reward dalam pendidikan. Tapi itu jarang terjadi. Aku dua kali mendapat hukuman dari ayah. Kali pertama ketika aku keluar tanpa memakai sandal, dan kedua ketika aku memukul pembantu di rumah... “
    “…Suatu ketika aku duduk di atas tangga itu dan melihat ayah datang dari kejauhan. Aku segera bangun dan menghampirinya tanpa menggunakan sandal. Padahal ayah sudah menyiapkan sandal untuk bermain dan sepatu untuk ke sekolah. Aku pergi begitu saja, lupa memakai sandal. Ketika itu ayah hanya melihatku sebentar saja, hanya sepintas. Dan saat itu pula aku sadar bahwa aku pasti akan mendapatkan hukuman. Aku segera kembali ke rumah.
    “Setelah para ikhwan pulang, ayah masuk ke ruang makan dan memanggilku. Aku datang dengan langkah lambat karena takut. Ayah berkata, “Duduklah di atas kerusi, dan angkat dua kakimu.” Ayah lalu memukul kakiku dengan pembaris pendek. Setiap belah kaki dipukul sepuluh kali. Tapi terus terang aku sebenarnya ingin tertawa, karena pukulannya pelan sekali sampai aku tidak merasakannya. Ayah hanya ingin membuat aku mengerti bahwa aku telah melakukan kesalahan.”
  12. Ayah dan Ibu Kami, Pasangan Romantis dan Harmonis
    Tsana: “Pernah suatu hari ayah pulang agak malam dan ibuku sedang tidur. Ketika itulah saya melihat penerapan firman Allah SWT, “Dan (Dia) menjadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang”. Ketika itu ayah tidak membangunkan ibu sama sekali, ayah menyiapkan sendiri makanannya dan seluruh keperluannya untuk menjamu tetamu yang datang. Ayah kulihat masuk ke dapur dan mempersiapkan makan malam sendiri. Ayah tahu letak semua rencah dan perabutan di dapur. Secara pantas, ayah menyiapkan makanan, kuih dan minuman untuk para Ikhwan. Ayah juga menyediakan roti dan menyusun meja makan sampai kemudian mereka makan malam bersama.”

Petikan dari buku
Cinta di Rumah Hassan al-Banna
Mohammad Lili Nur Aulia
Alam Raya Enterprise

ratuhati.com

No comments:

Post a Comment

Jom baca ini juga ...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Catatan Anda Dihargai... Terima Kasih :)

Siapakah Penulis Yang Baik?

Penulis yang baik adalah yang penulisannya memberikan kesan kepada jiwa insan. Seterusnya, penulis itu mampu menjadi inspirasi, contoh, qudwah kepada pembacanya.

Akhirnya sekali, dia tidak akan hanya tersekat dalam alam penulisan, bahkan di alam realiti dia tetap mampu menjadi satu model kepada ummat.

Penulis Yang Terbaik

Tips 1: Hubungan Dengan Allah SWT

Ya, hubungan dengan Allah SWT. Seorang yang hendak menjadi penulis yang terbaik perlulah menjaga hubungannya dengan Allah SWT. Mencintai perintah-Nya dan melaksanakannya. Membenci kemungkaran ke arah-Nya dan mencegahnya. Tidak melekatkan diri kepada apa yang Allah murka dan sentiasa berusaha mempertingkatkan kualiti diri di hadapan-Nya.

Kenapa hubungan dengan Allah SWT itu diletakkan yang pertama?

Banyak sebab. Tapi, antara sebab yang utama adalah, kita hendak menulis sesuatu yang memberi kesan pada jiwa insan. Justeru, apakah logik kita tidak meminta kepada Yang Membolak Balikkan Jiwa Insan? Kita perlu sedar bahawa, Allahlah TUAN kepada Hidayah. Bukankah adalah perkara yang normal kita tunduk kepada-Nya agar dia membantu kita? Sedang kita ini tidak mampu memberikan hidayah walau kepada orang yang kita cintai.


Sesungguhnya kau tidak akan mampu memberikan hidayah kepada orang yang kau cintai, tetapi Allah lah yang memberikan hidayah kepada sesiapa yang dia kehendaki…” Surah Al-Qasas ayat 56.

Tips 2: Kerendahan Hati
Seorang yang ingin menggerakkan dirinya menjadi penulis yang baik, perlulah mendidik jiwa dan hatinya untuk sentiasa rendah. Rendah di sini adalah merasa kerdil di hadapan Allah SWT. Ini untuk menjaga keikhlasan, mengelakkan diri dari riya’, ujub, takabbur.
Riya’, ujub, takabbur, semua itu adalah hijab dalam amalan. Ia membuang keberkesanan penyampaian kita. Sifat-sifat mazmumah itu akan menyebabkan perjalanan penulisan kita juga terpesong. Nanti kita akan rasa cepat hendak membantah pendapat orang lain, tidak boleh ditegur, rasa senang nak menyalahkan orang dan sebagainya.

Kerendahan hati sangat penting dalam menjamin kebersihan perjalanan penulisan kita.

Apakah hati yang hitam mampu mencahayakan hati yang lain?

Tips 3: Dahagakan Ilmu
Kita tidak mencari ilmu seperti orang yang sudah kekenyangan. Maka kita akan rasa malas untuk menambah ilmu apabila kita rasa diri kita sudah penuh. Seorang penulis perlu sentiasa merasakan dirinya tidak cukup. Maka dia akan bergerak untuk mengisi dirinya dengan pelbagai ilmu.

Ilmu penulisan, ilmu-ilmu asas kehidupan, ilmu bahasa, ilmu realiti, dan bermacam-macam ilmu lagi.

Penulis perlu sedar bahawa, seseorang yang tidak mempunyai apa-apa, tidak akan mampu memberikan apa-apa.

Maka seorang penulis perlu mempunyai ‘apa-apa’ untuk menulis.

Amatlah penting bagi seorang penulis untuk mengekspansikan capaian ilmunya. Ilmu bukan sekadar di dalam kelas, di dalam buku teks. Bahkan seluruh kehidupan ini mampu dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Semuanya boleh diambil dan diterjemahkan kepada idea.

Banyak membuat kajian, banyak membuat pembacaan, banyak bertanya, banyak memerhati dan banyak berfikir. Ilmu-ilmu yang berjaya diraih, insyaAllah akan mampu menjadi ‘trigger’ kepada idea.

Tips 4: Disiplin

Tidak akan mampu seseorang itu menjadi penulis yang terbaik tanpa disiplin. Perlu ada disiplin dalam menulis. Perlu juga ada disiplin dalam mengimbangi kehidupan sebagai penulis dan sebagai pelajar, pekerja, anak, bapa, ibu dan sebagainya.

Sebab itu, apa yang saya selalu lakukan dalam hal disiplin ini adalah JADUAL.

Susun waktu. Sesungguhnya Allah tak akan memberikan manusia 24 jam sekiranya 24 jam itu tidak cukup untuk manusia. Tetapi manusialah yang tidak menggunakan 24 jam itu dengan sebaik-baiknya. Sebab itulah kita sering merasakan kita tidak mampu melaksanakan kerja.


Tips 5: Istiqomah
Seorang penulis yang terbaik itu, mencapai tahapnya yang tertinggi adalah apabila dia istiqomah. Bukannya bila pelawat website, blog sudah mencapai juta, dia mula bermalas-malasan.

Orang kata, hendak menjadi juara itu tidak sesusah hendak mengekalkan kejuaraan.

Penulis yang mampu menjadi contoh adalah penulis yang istiqomah.

Istiqomah dalam penulisannya. Istiqomah pula dalam menjaga peribadinya dalam menjadi qudwah kepada ummah.

Penutup

Saya tak rasa gembira kalau pembaca membaca penulisan saya, kemudian dia rasa seronok-seronok,tanpa membawa apa-apa daripada penulisan saya ke dalam kehidupannya.

Pada saya, seorang penulis itu bukan seorang penghibur.

Penulis adalah yang membina ideologi ummah, memimpin pemikiran ummah.

Justeru, penulis yang berjaya, adalah penulis yang penlisannya mampu memberikan kesan kepada kehidupan manusia.


~Hilal Asyraf ~

ms.langitilahi.com