dakwatuna.com - Hijrah adalah kemestian. Allah swt. membangun sistem di alam ini berdasarkan pergerakan. Planet bergerak, berjalan pada orbitnya. Allah berfirman: ”Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yasin: 38). Imam Syafii’i menggambarkan dalam sya’irnya yang sangat indah bahwa air yang tergenang akan busuk dan air yang mengalir akan bening dan jernih. Seandainya matahari berhenti di ufuk timur terus menerus, niscaya manusia akan bosan dan stres.
Benar, hijrah sebuah kemestian. Karena dalam diam tersimpan segala macam keburukan. Kenderaan yang didiamkan berhari-hari akan berkarat dan hancur. Jasad yang didudukkan terus menerus akan menghidap banyak penyakit. Itulah rahsia mengapa harus berolahraga. Syaikh Muhammad Al Ghazali berkata: ”Bahawa orang-orang yang menganggur adalah manusia yang mati. Ibarat pohonan yang tanpa buah para penganggur itu adalah manusia-manusia yang wujudnya menghabiskan keberkahan.”
Terbukanya kota Mekah adalah keberkahan hijrah. Seandainya Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya tetap berdiam di kota Mekah, tidak pernah terbayang akan lahir sebuah kekuatan besar yang kemudian menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Sungguh berkat hijrah ke kota Madinah kekuatan baru umat Islam terbangun, yang darinya kepemimpinan Islam merambah jauh, tidak hanya melampaui kota Mekah, pun tidak hanya melampaui Jazirah Arabia, melainkan lebih dari itu melampaui Persia dan Romawi.
Ada beberapa dimensi hijrah yang harus kita wujudkan dalam hidup kita sehari-hari di era modern ini, agar kita mendapatkan keberkahan:
Pertama, dimensi personal, bahawa setiap mukmin harus selalu lebih baik kualiti keimannya dari semalam. Karenanya dalam Al-Qur’an Allah swt. selalu menggunakan kata ahsanu amala (paling baiknya amal). Maksudnya bahawa tidak seharusnya seorang mukmin masuk di lubang yang sama dua kali. Itulah sebabnya mengapa sepertiga Al-Qur’an menggambarkan peristiwa sejarah. Itu untuk menekankan betapa pentingnya belajar dari sejarah dalam membangun ketaqwaan. Dari sini kita memahami mengapa Allah swt. dalam surah Al Hasyr:18 menyandingkan perintah bertaqwa dengan perintah belajar dari sejarah: ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kedua, dimensi sosial, bahawa seorang mukmin tidak pantas berbuat zalim, mengambil penghasilan secara haram dan hidup bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Seorang mukmin harus segera berhijrah dari situasi sosial semacam ini. Seorang mukmin harus segera membangun budaya takaful –saling menanggung-. Itulah rahsia disyari’atkannya zakat. Bahwa di dalam harta yang kita punya, ada hak orang lain yang harus dipenuhi. Allah berfirman : ”Walladziina fii amwaalihim haqqun ma’luum (dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bahagian tertentu.”) (QS. Al Maarij: 24).
Dan ini telah terbukti dalam sejarah bahawa membangun budaya takaful akan menyelesaikan banyak penyakit sosial yang akhir-akhir ini sangat mencengkam. Terlalu tingginya angka kemiskinan dan penganggguran di tengah negeri yang kaya sumber alam, sungguh suatu pemandangan yang naif. Namun ini tentu ada sebabnya, di antaranya yang paling pokok adalah karena kezaliman dan ketidakjujuran. Dari sini jelas bahwa hijrah yang harus dibuktikan saat ini adalah komitmen untuk tidak lagi mengulangi budaya rasuah. Sebab dari budaya inilah berbagai penyakit sosial lainnya tidak dapat dihindari.
Ketiga, dimensi dakwah, bahawa seorang mukmin tidak boleh berhenti pada titik sekadar mengaku sebagai seorang mukmin secara ritual saja, melainkan harus dibuktikan dengan mengajak orang lain kepada kebaikan. Ingat bahawa syaitan siang dan malam selalu bekerja keras mengajak orang lain ke neraka. Syaitan berkomitmen untuk tidak masuk neraka sendirian.
Dari sini saatnya seorang mukmin harus bersaing dengan syaitan. Ia harus berhijrah dari sikap pasif kepada sikap produktif. Produktif dalam erti kata bekerja keras mengajak orang lain ke jalan Allah. Sebab tidak seharusnya seorang mukmin bersikap pasif. Pasifnya seorang mukmin bukan saja akan membawa banyak bakteria pelemah iman, melainkan juga membawa bencana bagi kemanusiaan.
Itulah sebabnya mengapa seorang pemikir muslim abad ini dari India Syaikh Abul Hasan Ali An-Nadwi menulis sebuah buku yang sangat terkenal dan menomental: maadzaa khasiral aalam bin khithaathil muslimiin ( betapa dahsyatnya kerugian yang dialami dunia ketika umat Islam tidak berdaya).
Ini benar, bahwa dunia ini memang memerlukan umat Islam yang berdaya. Umat Islam yang produktif. Bukan umat Islam yang pasif. Dan kini kita menyaksikan dengan mata kita, betapa kerosakan bermaharajalela melanda kemanusiaan akibat dari lemahnya umat Islam. Bandingkan dengan dulu ketika Umar Bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz memimpin dunia. Inilah hijrah yang harus segara kita buktikan. Wallhu a’lam bishshawab
No comments:
Post a Comment